Masyarakat kembali dipusingkan masalah isu pengurangan pasokan minyak tanah. Jumlah pasokan minyak tanah dikhawatirkan akan dikurangi hingga akhirnya menjadi langka di pasaran setelah konversi minyak tanah ke gas dimulai di Kabupaten Batanghari.
Kekhawatiran itu muncul karena selama ini masyarakat masih banyak yang mengandalkan minyak tanah untuk keperluan sehari-hari, seperti untuk memasak dan untuk penerangan. Masyarakat desa, terutama yang belum teraliri listrik merasa paling dirugikan bila sampai pasokan minyak tanah dikurangi.
“Kami gunakan minyak tanah bukan untuk memasak saja, tapi juga untuk lampu. Di desa kami ini listrik belum masuk, jadi masih harus pakai lampu minyak,” ucap Murniati, seorang ibu rumah tangga di Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi kepada Tribun akhir pekan lalu.
Ia menyebut, bila sampai minyak tanah langka di pasaran, maka rumah mereka tidak akan bisa lagi mendapat cahaya dari lampu dikala malam. “Rumah kami yang kalau malam hanya dapat cahaya redup dari lampu minyak, akan gelap gulita kalau sampai lampu kami tidak punya minyak lagi,” ungkapnya.
Saat ini saja, sambungnya, masyarakat setempat sudah mulai kesulitan untuk mendapatkan minyak tanah. Namun kesulitan itu belum sampai membuat mereka tidak mendapatkan minyak tanah. Kecuali, harga minyak tanah di pedagang pengecer yang dirasanya terlalu tinggi. “Seliter Rp 6.000,” ucapnya.
Kondisi yang sama juga diungkapkan warga yang berada di Desa Pulau Raman, Kecamatan Pemayung. Di desa yang berada di seberang Sungai Batanghari yang hingga kini belum mendapatkan aliran listrik itu merasa kecewa dan menderita bila minyak tanah sampai langka karena pasokannya dikurangi.
“Di Desa ini penduduk kami mengandalkan minyak tanah untuk memasak dan untuk lampu. Tidak ada yang punya gas dan listrik juga belum masuk. Kami sangat tergantung dengan minyak tanah dalam kehidupan kami sehari-hari,” ucap Nurbaiti, seorang ibu rumah tangga.
Adanya program konversi dari minyak tanah ke gas, sebutnya, telah memicu kecemasan warga. “Di Desa ini banyak warga yang tidak mau didata sebagai penerima gas. Mereka umumnya menolak karena takut gas meleduk (meledak) seperti yang disiarkan di TV,” ucapnya.
Namun, sambungnya, umumnya yang takut itu adalah
penduduk yang sudah berusia tua. Saat ini, penduduk di sana masih bisa mendapatkan minyak tanah untuk keperluannya sehari-hari. Namun harga yang mereka dapat ternyata jauh diatas harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. “Kami beli di warung antara Rp 6.000-Rp 7.000 per liter. Kalau ke pangkalan jauh dan harus mengantri,” ungkapnya.
Mereka berharap kondisi tersebut menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan konversi minyak tanah ke gas. “Jangan hanya melihat penduduk yang di kota saja, yang hanya menggunakan minyak tanah untuk keperluan memasak,” kata Sulaiman, Kepala Desa Pulau Raman.
Namun, masyarakat di berbagai desa yang belum mendapatkan listrik dan menggunakan penerangan berkat bantuan minyak tanah harus mendapatkan perhatian lebih. (ang)
*tribunjambi.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)