Kubu Presiden SBY dan kubu Front Pembela Islam (FPI) menurunkan tensi. Kedua kubu bertemu di acara coffee morning di Kantor Menteri Dalam Negeri, tadi pagi (Rabu, 16/2). Ketua Umum FPI, Habib Rizieq didampingi Jurubicara FPI Munarman. Mendagri Gamawan Fauzi menggambarkan pertemuan itu berlangsung dalam suasana akrab, dan masing-masing pihak saling memberikan wasiat tentang kebenaran dan kesabaran.
Sama sekali tidak ada pembicaraan mengenai perintah Presiden SBY kepada aparat penegak hukum untuk membubarkan ormasi Islam radikal yang sering melakukan kekerasan.
Perintah pembubaran ormas radikal yang sering membuat kekerasan itu disampaikan SBY di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pekan lalu (Rabu, 9/2) sebagai reaksi atas penyerangan anggota Jemaat Ahmadiah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang menewaskan tiga orang (Minggu, 6/2), dan perusakan tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah (Selasa, 8/2).
FPI menyambar pernyataan SBY itu dan mengancam akan menggulingkan SBY. Ancaman ini diulangi beberapa kali.
Jurubicara FPI, Munarman, yang pertama kali menyampaikan ancaman penggulingan itu juga hadir dalam pertemuan coffee morning tadi. Dia mengatakan, tidak ada masalah personal antara FPI dan SBY. Munarman justru menyalahkan pihak lain, dalam hal ini agen asing, sebagai provokator yang membenturkan.
“Banyak sekali provokator yang tidak suka. (Mereka adalah) kelompok kalangan yang mengaku intelektual. Tapi saya tahu mereka antek Amerika. Saya mengertilah petanya," ujar Munarman.
Bagi sementara kalangan, bukan sesuatu yang mengagetkan bila FPI dan SBY akhirnya berdamai.
Aktivis prodemokrasi Adhie Massardi menilai, sejak awal keributan dan perseteruan antara FPI dan SBY sudah terlihat mencurigakan. Dia menyamakan kasus ini dengan kasus penyerangan yang dilakukan Laskar Pembela Islam (LPI) terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni 2008 di Silang Monas.
“Makanya, waktu saya lihat SBY dan Munarman saling gertak, saya seperti melihat adegan berantemnya Aziz Gagap versus Sule dalam pertunjukan Opera van Java yang didalangi Parto,” ujar Adhie Massardi, Rabu siang (16/2). Adhie menyangsikan upaya pemerintahan SBY menghentikan aksi kekerasan yang menggunakan agama yang kerap terjadi.
Adhie dan sejumlah tokoh yang tergabung dalam kelompok yang disebut Pluralisme Plus, seperti Yenny Wahid, Hendardi, Johan Effendy, Wimar Witoelar, Romo Benny, Usman Hamid, dan Musdah Mulia, hari Senin lalu (14/2) menemui Ketua MPR Taufiq Kiemas dan meminta agar MPR bersikap tegas terhadap praktik pembiaran kekerasan ini.
Taufiq Kiemas usai pertemuan mengatakan, dirinya setuju dengan pemberian sanksi keras terhadap ormas yang melakukan kekerasan. Di sisi lain, dia juga mengatakan penggulingan presiden atau impeachment hanya bisa dilakukan lewat lembaga yang dipimpinnya itu. [guh]
*rakyatmerdeka.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)