Bulan Ramadhan sebentar lagi datang. Masyarakat bersiap menyambut datangnya bulan suci, saat umat Islam wajib menjalankan ibadah puasa. Namun, seperti sudah menjadi rutinitas, menjelang Ramadhan harga-harga kebutuhan mulai mananjak. Jika sebelumnya harga telur dan kebutuhan dapur lainnya sudah mendahului naik, kini giliran beras.
Di sentra beras Indramayu, harga beras naik berkisar Rp 500 sampai Rp 1000 dalam waktu sepekan. Misalnya di Pasar Baru, Indramayu, beras kualitas I mengalami kenaikan hingga Rp 800, dari semula Rp 6.200/kg menjadi Rp 7.000/kg. Harga beras tersebut akan lebih mahal lagi jika di kalangan eceran, bisa mencapai Rp 7.500 hingga Rp 8.000/kg. Kenaikan harga juga terjadi pada beras kualitas II, dari semula Rp 6.000/ kg, kini merangkak jadi Rp 6.500/kg bagi tingkatan pedagang grosir.
Kenaikan beras di Indramayu, tentu saja mengimbas ke Jakarta sebagai ibukota negara, dan memicu kenaikan harga pangan lainnya. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengungkap, harga sejumlah bahan pokok selalu mengalami kenaikan menjelang puasa. Kali ini, kenaikan terjadi pada harga daging, ayam, dan telur. "Paling tinggi Rp 2.000," katanya, usai mengikuti Rapat Terbatas Bidang Ekonomi bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (18/7).
Kenaikan harga ini diprediksi hingga menjelang puasa dan lebaran nanti. Prediksi ini berdasarkan pola dari tahun ke tahun. Namun, saat puasa harga turun dan harga naik lagi menjelang Lebaran. Mari menganggap, kenaikan Rp 2.000 itu tak terlalu tinggi. Lagipula, di samping ketiga bahan pokok itu, minyak dan gula harganya turun.
Untuk meredam situasi harga yang bergolak menjelang Ramadhan itu, Mari memastikan bahwa stok daging, ayam, dan telur cukup hingga Lebaran. Kementerian sudah bertemu asosiasi peternak yang membahas persediaan. "Mereka sudah antisipasi permintaan yang meningkat saat menjelang puasa, saat puasa, dan hendak Lebaran," katanya.
Tetapi, langkah antisipasi perlu dilakukan sejak jauh hari mengingat lonjakan permintaan secara musiman menjelang puasa dan Lebaran. Mari Elka berjanji, Kementerian yang dipimpinnya terus menjaga supaya tidak terjadi gejolak harga.
Kenaikan harga bahan pangan menjelang puasa memang menjadi siklus yang berulang saban tahun. Maklum, menjelang Bulan Ramadhan, permintaan masyarakat cenderung meningkat. Ketika permintaan lebih tinggi dari jumlah pasokan, otomatis harga akan terkerek naik.
Bagi para pengelola logistik di negeri ini, tugas utamanya adalah memperkecil perbedaan antara permintaan dan penawaran. Apabila pasokan bisa dipacu untuk memenuhi permintaan, maka tingkat kenaikan harga akan lebih terkontrol.Di sinilah kemampuan pengelolaan logistik diuji.
Sejauh mana pemerintah mampu mengimbangi peningkatan permintaan masyarakat akan kebutuhan pokok menjelang bulan puasa dan Lebaran. Apabila pada masa menjelang puasa, pemerintah tidak mampu mengendalikan pasokan, maka harga-harga biasanya tidak terkontrol pada masa puasa dan Idul Fitri nanti.
Masalahnya, ketika siklus pasar pangan mulai menunjukkan kenaikan harga, saat itu pula para mafia perdagangan bahan pangan bekerja. Lantaran memiliki modal gede, mereka berupaya menumpuk barang untuk mendongkrak harga, lalu menggelontorkan ke pasar saat harga berada di puncak tertinggi. Perilaku mafia perdagangan sembako (sembilan bahan pokok) inilah yang harus diredam oleh para pemangku kepentingan.
Pemerintah memiliki Perum Badan Urusan Logistik yang seharusnya bisa digerakkan untuk mengatur keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Seharusnya, melalui lembaga instrumen pengendali harga, seperti Bulog, pengelolaan pasokan kebutuhan pokok masyarakat bisa dilakukan sejak jauh-jauh hari.
Namun, seringkali antisipatif gejolak harga pangan seringkali terlambat. Aparat pemerintah dan instrumennya kerap kal;ah sigap dibanding para spekulan. Setidaknya, hal itu dirasakan masyarakat sejak era reformasi. Pemerintah selalu kedodoran menjelang hari besar keagamaan, sehingga harga-harga kebutuhan pokok tidak terkendali dan akhirnya membebani masyarakat.
Tugas pemerintahlah untuk menjaga sistem perdagangan berjalan normal. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menindak mereka yang mencoba mengail di air keruh. Penggunaan kewenangan itulah yang tidak dipakai oleh pemerintah, sehingga selalu dikejar-kejar oleh persoalan. Apalagi ketika persoalan datang kecenderungannya bukan menyelesaikan masalah itu, tetapi lebih banyak melakukan manajemen panik.
Sebagai contoh, ketidakpastian pemerintah akhirnya menjadi bumerang dalam soal pengelolaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kelangkaan BBM yang terjadi belakangan ini, akibat dari ketidakpastian pemerintah dalam mengambil keputusan. Setiap saat pemerintah mengeluhkan soal permintaan BBM yang melebihi kuota, namun pemerintah selalu ragu-ragu menelurkan kebijakan untuk menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM.
Bisa dimaklumi jika masyarakat khawatir, lalu mengekspresikannya dengan membeli bensin lebih banyak dari kebiasaan. Permintaan yang berlebih itu tentu mengganggu pengelolaan pasokan di Pertamina. Akibatnya, kelangkaan BBM terjadi di beberapa daerah.
Hukum ekonomi sudah pasti, apabila ada kesenjangan antara pasokan dan permintaan, maka harga pasti akan bergerak naik. Ketika permintaan jauh di atas pasokannya, seringkali terjadi adalah pasar gelap. Itulah yang akhirnya merusak pasar dan membuat harga semakin melambung lagi.
Kini, kemampuan pengelolaan logistik pemerintah sedang diuji. Jika pemerintah tidak mampu menangani masalah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, maka legitimasi pemerintah menjadi semakin anjlok. Rakyat makin tidak percaya dengan kemampuan pemerintah untuk mengontrol harga pangan. Yang terjadi kemudian aadalah gejolak harga tanpa kendali, sehingga memperburuk kondisi ekonomi negeri. Semoga kita bisa belajar dari pengalaman. [HP]
*gatra.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)