KPK, Kejaksaaan Agung dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta segera berkoordinasi agar penyitaaan hutan negara Register 40, Padang Lawas, Sumatera Utara masuk ke kas negara. Hingga kini, pihak Inhutani IV selaku perusahaan yang diberi wewenang untuk mengelola lahan seluas 47 ribu hektar, mengaku belum bisa memutuskan nasib lahan tersebut. Sehingga, praktis selama tiga tahun lebih lahan tersebut menganggur.
Kepala Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, pihaknya siap menindaklanjuti berbagai laporan soal potensi kerugian negara. Untuk itu, KPK akan menunggu laporan mengenai macetnya setoran hasil sitaan aset bekas milik pengusaha Darianus Lungguk (DL) Sitorus ini.
“Kalau ada, silakan laporkan ke KPK, tentu akan kami telaah. Sebaliknya, kalau tidak ada laporan, kami tidak bisa menelaah. Tidak mungkin kami tiba-tiba memeriksa, berdasarkan apa,” katanya saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.
Sementara pihak Kejaksaan Agung akan mengecek kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, apakah memang ada upaya mengulur setoran pengelolaan aset perkebunan senilai 47 ribu hektar tersebut.
“Kami akan mengeceknya dengan teliti,’’ kata Direktur Moneter dan Keuangan pada Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung, Basuni Masyarif ketika dikonfirmasi Rakyat Merdeka di Jakarta, belum lama ini.
Seperti diketahui, di atas lahan hutan produksi itu telah berdiri perkebunan kelapa sawit sekitar 47.000 haktar (ha) yang dikelola PT Torganda, PT Torus Ganda, Koperasi Parsub dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan. Lahan tersebut semula dimiliki DL Sitorus yang kini telah divonis delapan tahun dan denda Rp 5 miliar.
Nah, sejak tahun 2007, aset DL Sitorus itu sudah dirampas negara dan diserahkan ke Inhutani IV, selaku BUMN yang bergerak di bidang kehutanan.
Informasi yang diterima Rakyat Merdeka menyebutkan, aset tersebut sudah dikuasai PT Inhutani IV. Selanjutnya, untuk memutuskan kelanjutan operasional lahan bekas milik DL Sitorus ini, Inhutani menggelar tender. Ada 12 perusahaan yang mengikuti tender tersebut.
Dari jumlah tersebut muncul tiga nama yakni, PT Citra Usaha Sejati, PT Budi Graha Perkasa dan PT Tidar Kerinci Agung. Padahal, dalam tempo sebulan saja, sebetulnya Inhutani IV bisa memutuskan mitra operator lahan tersebut.
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Medan, Sumut, Ahmad Raja Nasution sangat berharap agar lahan hutan produksi ini segera dioperasionalkan karena menyangkut nasib ribuan pekerja. Sayangnya, lanjut dia, pihak Inhutani IV terkesan mengulur-ulur keputusan untuk menentukan mitra operator lahan hutan seluas 47 ribu hektar ini.
”Padahal, potensi pemasukan negara bila lahan ini bisa dioperasionalkan mencapai Rp 60-100 miliar sebulan. Tapi, dengan tidak diopersionalkannya dan diambangkannya keputusan mitra operasional ini, maka sejak tahun 2007 hingga kini, praktis potensi pemasukkan negara sekitar Rp 3,3 triliun tidak bisa disetorkan ke kas negara di Departemen Keuangan,’’ kata dia di Jakarta.
Untuk itu, pihaknya meminta Inhutani segera memutuskan mitra opaperator lahan tersebut. Selain itu, dia juga meminta Kejaksaan Agung untuk meneliti potensi kerugian negara. Apakah ada pelanggaran hukum atau tidak.
Dia menduga, ada pihak tertentu yang sengaja meminta agar lahan tersebut tidak dioperasikan. “Ini yang harus diperhatikan aparat penegak hukum, seperti KPK, Kejagung termasuk Kemenkeu. Yang harus diingat, negara berpotensi dirugikan jika lahan tersebut tidak terurus dengan baik,’’ tandasnya.
Ketika dikonfirmasi, pihak Inhutani IV membantah sengaja mengulur-ulur operasional lahan hutan lindung dan sawit tersebut. Direktur Utama PT Inhutani IV Mustoha Iskandar mengatakan, Kemenkeu saat ini masih melakukan penilaian terhadap kontribusi tetap yang harus disetor Inhutani kepada negara dalam bentuk penghasilan bukan pajak.
Selain itu, Kemenkeu yang berlaku sebagai pengelola aset negara juga sedang mempertimbangkan berapa pembagian hasil keuntungan. Setelah Kemenkeu setuju, barulah ada kerjasama pemanfaatan (KSP) antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan Inhutani.
”Bagaimana kami mau menunjuk mitra operator, KSP-nya saja belum ada. Jadi kami belum bisa berbuat apa-apa. Untuk mengelola aset negara, diperlukan KSP. Kemenhut menunjuk Inhutani melalui KSP. Eksekusi lapangan juga belum dilakukan. Saat ini baru ada eksekusi administrasi. Kami memang sudah melakukan tender terlebih dahulu. Hal itu sebagai terobosan. Sehingga, setelah KSP sudah ada, kami tidak perlu memulai dari awal lagi, tidak baru mulai mencari-cari partner,” kata Mustoha ketika dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.
Minta Kejagung Berkoordinasi
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Sengketa atas aset terpidana DL Sitorus harus diselesaikan melalui mekanisme yang jelas. Kalaupun ada kewajiban para pihak yang mesti disetor ke kas negara, hal ini hendaknya disesuaikan dengan regulasi yang ada.
Dengan begitu, kepastian hukum atas tindakan yang dilakukan Kejaksaan Agung maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki jaminan atau dasar hukum yang pasti. Penjelasan seputar hal ini kemarin disampaikan anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari, kemarin.
Politisi PDIP ini menyatakan, penyelesaian masalah aset setiap terpidana mesti bisa dituntaskan secara jelas. “Saya tidak terlalu mengikuti perkembangan kasus ini sampai ke penyitaan aset. Namun demikian, pada prinsipnya regulasi dalam penanganan kasus ini bisa diselesaikan secara baik oleh semua pihak,” tuturnya.
Dalam pandangannya, Kejagung semestinya telah berkoordinasi dengan Kemenkeu. Dengan asumsi ini, maka kewajiban terpidana maupun para pihak yang disebut belakangan menguasai aset terpidana DL Sitorus, bisa dilihat atau ditinjau pemerintah. “Pihak yang mengambil alih aset itu kan ada. Tinggal dimintai pertanggungjawabannya saja,” ucapnya.
Kalau belakangan muncul persoalan ataupun polemik seputar belum adanya setoran ke kas negara, lanjutnya, maka Kejaksaan Agung atau KPK bisa merespon hal tersebut dengan langkah hukum yang terukur.
“Saya lebih sepakat kalau jajaran penegak hukum yang menangani perkara ini untuk menindaklanjuti kejanggalan yang ada,” tuturnya seraya menambahkan, dirinya mendorong KPK yang memiliki kewenangan extraordinary untuk mengambil tindakan hukum secara konkret.
Menurutnya, kewenangan KPK untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang menguasai dan mengelola aset terpidana DL Sitorus, bisa dilaksanakan sepanjang dugaan adanya kerugian negara dalam pokok perkara ini jelas.
KPK Pasti Bisa Turun Tangan
Fadli Nasution, Ketua PMHI
Agar tidak ada penyelewengan penggunaan aset terpidana yang telah dieksekusi, hendaknya kejaksaan melakukan pengawasan secara komprehensif. Bila kejaksaan tidak mampu, maka KPK dapat turun tangan.
Kalau ada para pihak yang menguasai aset negara tapi belum menyelesaikan kewajibannya, KPK diharapkan mampu mengambil langkah hukum atas persoalan tersebut. Demikian pandangan Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution, kemarin. “Setidaknya ada koordinasi simultan antara KPK, Kejagung maupun Kementerian Keuangan dalam menangani persoalan ini,” ujarnya.
Dia mengingatkan, perjanjian-perjanjian seputar kewajiban para pihak yang berkaitan dengan pengalihan aset ini, diketahui oleh para penegak hukum yang berperan melaksanakan penyitaan aset bermasalah tersebut. “Lazimnya, penyitaan atau eksekusi aset ini ditindaklanjuti dengan penyerahan aset kepada negara, dalam hal ini Kemenkeu.”
Fadli menambahkan, siapa pun pihak yang saat ini menguasai aset terpidana, seperti dalam kasus DL Sitorus, semestinya memenuhi kewajibannya. “Kalau ada ketentuan untuk menyetor pada kas negara, ya harus ditagih. Pihak yang menagih ini tentunya adalah Kemenkeu,” ucapnya.
Jika setoran ke negara sampai macet, lanjutnya, maka PMHI merasa perlu mendesak Kejaksaan Agung untuk memeriksa pihak-pihak terkait. “Kita ketahui bahwa hutan register 40 seluas 47.000 hektar itu telah berubah menjadi kebun kelapa sawit, bisa dibayangkan kira-kira berapa penghasilan dari kebun tersebut selama hampir tiga tahun ini, dikemanakan semua?” tanyanya. [RM]
Kepala Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, pihaknya siap menindaklanjuti berbagai laporan soal potensi kerugian negara. Untuk itu, KPK akan menunggu laporan mengenai macetnya setoran hasil sitaan aset bekas milik pengusaha Darianus Lungguk (DL) Sitorus ini.
“Kalau ada, silakan laporkan ke KPK, tentu akan kami telaah. Sebaliknya, kalau tidak ada laporan, kami tidak bisa menelaah. Tidak mungkin kami tiba-tiba memeriksa, berdasarkan apa,” katanya saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.
Sementara pihak Kejaksaan Agung akan mengecek kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, apakah memang ada upaya mengulur setoran pengelolaan aset perkebunan senilai 47 ribu hektar tersebut.
“Kami akan mengeceknya dengan teliti,’’ kata Direktur Moneter dan Keuangan pada Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung, Basuni Masyarif ketika dikonfirmasi Rakyat Merdeka di Jakarta, belum lama ini.
Seperti diketahui, di atas lahan hutan produksi itu telah berdiri perkebunan kelapa sawit sekitar 47.000 haktar (ha) yang dikelola PT Torganda, PT Torus Ganda, Koperasi Parsub dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan. Lahan tersebut semula dimiliki DL Sitorus yang kini telah divonis delapan tahun dan denda Rp 5 miliar.
Nah, sejak tahun 2007, aset DL Sitorus itu sudah dirampas negara dan diserahkan ke Inhutani IV, selaku BUMN yang bergerak di bidang kehutanan.
Informasi yang diterima Rakyat Merdeka menyebutkan, aset tersebut sudah dikuasai PT Inhutani IV. Selanjutnya, untuk memutuskan kelanjutan operasional lahan bekas milik DL Sitorus ini, Inhutani menggelar tender. Ada 12 perusahaan yang mengikuti tender tersebut.
Dari jumlah tersebut muncul tiga nama yakni, PT Citra Usaha Sejati, PT Budi Graha Perkasa dan PT Tidar Kerinci Agung. Padahal, dalam tempo sebulan saja, sebetulnya Inhutani IV bisa memutuskan mitra operator lahan tersebut.
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Medan, Sumut, Ahmad Raja Nasution sangat berharap agar lahan hutan produksi ini segera dioperasionalkan karena menyangkut nasib ribuan pekerja. Sayangnya, lanjut dia, pihak Inhutani IV terkesan mengulur-ulur keputusan untuk menentukan mitra operator lahan hutan seluas 47 ribu hektar ini.
”Padahal, potensi pemasukan negara bila lahan ini bisa dioperasionalkan mencapai Rp 60-100 miliar sebulan. Tapi, dengan tidak diopersionalkannya dan diambangkannya keputusan mitra operasional ini, maka sejak tahun 2007 hingga kini, praktis potensi pemasukkan negara sekitar Rp 3,3 triliun tidak bisa disetorkan ke kas negara di Departemen Keuangan,’’ kata dia di Jakarta.
Untuk itu, pihaknya meminta Inhutani segera memutuskan mitra opaperator lahan tersebut. Selain itu, dia juga meminta Kejaksaan Agung untuk meneliti potensi kerugian negara. Apakah ada pelanggaran hukum atau tidak.
Dia menduga, ada pihak tertentu yang sengaja meminta agar lahan tersebut tidak dioperasikan. “Ini yang harus diperhatikan aparat penegak hukum, seperti KPK, Kejagung termasuk Kemenkeu. Yang harus diingat, negara berpotensi dirugikan jika lahan tersebut tidak terurus dengan baik,’’ tandasnya.
Ketika dikonfirmasi, pihak Inhutani IV membantah sengaja mengulur-ulur operasional lahan hutan lindung dan sawit tersebut. Direktur Utama PT Inhutani IV Mustoha Iskandar mengatakan, Kemenkeu saat ini masih melakukan penilaian terhadap kontribusi tetap yang harus disetor Inhutani kepada negara dalam bentuk penghasilan bukan pajak.
Selain itu, Kemenkeu yang berlaku sebagai pengelola aset negara juga sedang mempertimbangkan berapa pembagian hasil keuntungan. Setelah Kemenkeu setuju, barulah ada kerjasama pemanfaatan (KSP) antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan Inhutani.
”Bagaimana kami mau menunjuk mitra operator, KSP-nya saja belum ada. Jadi kami belum bisa berbuat apa-apa. Untuk mengelola aset negara, diperlukan KSP. Kemenhut menunjuk Inhutani melalui KSP. Eksekusi lapangan juga belum dilakukan. Saat ini baru ada eksekusi administrasi. Kami memang sudah melakukan tender terlebih dahulu. Hal itu sebagai terobosan. Sehingga, setelah KSP sudah ada, kami tidak perlu memulai dari awal lagi, tidak baru mulai mencari-cari partner,” kata Mustoha ketika dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.
Minta Kejagung Berkoordinasi
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Sengketa atas aset terpidana DL Sitorus harus diselesaikan melalui mekanisme yang jelas. Kalaupun ada kewajiban para pihak yang mesti disetor ke kas negara, hal ini hendaknya disesuaikan dengan regulasi yang ada.
Dengan begitu, kepastian hukum atas tindakan yang dilakukan Kejaksaan Agung maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki jaminan atau dasar hukum yang pasti. Penjelasan seputar hal ini kemarin disampaikan anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari, kemarin.
Politisi PDIP ini menyatakan, penyelesaian masalah aset setiap terpidana mesti bisa dituntaskan secara jelas. “Saya tidak terlalu mengikuti perkembangan kasus ini sampai ke penyitaan aset. Namun demikian, pada prinsipnya regulasi dalam penanganan kasus ini bisa diselesaikan secara baik oleh semua pihak,” tuturnya.
Dalam pandangannya, Kejagung semestinya telah berkoordinasi dengan Kemenkeu. Dengan asumsi ini, maka kewajiban terpidana maupun para pihak yang disebut belakangan menguasai aset terpidana DL Sitorus, bisa dilihat atau ditinjau pemerintah. “Pihak yang mengambil alih aset itu kan ada. Tinggal dimintai pertanggungjawabannya saja,” ucapnya.
Kalau belakangan muncul persoalan ataupun polemik seputar belum adanya setoran ke kas negara, lanjutnya, maka Kejaksaan Agung atau KPK bisa merespon hal tersebut dengan langkah hukum yang terukur.
“Saya lebih sepakat kalau jajaran penegak hukum yang menangani perkara ini untuk menindaklanjuti kejanggalan yang ada,” tuturnya seraya menambahkan, dirinya mendorong KPK yang memiliki kewenangan extraordinary untuk mengambil tindakan hukum secara konkret.
Menurutnya, kewenangan KPK untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang menguasai dan mengelola aset terpidana DL Sitorus, bisa dilaksanakan sepanjang dugaan adanya kerugian negara dalam pokok perkara ini jelas.
KPK Pasti Bisa Turun Tangan
Fadli Nasution, Ketua PMHI
Agar tidak ada penyelewengan penggunaan aset terpidana yang telah dieksekusi, hendaknya kejaksaan melakukan pengawasan secara komprehensif. Bila kejaksaan tidak mampu, maka KPK dapat turun tangan.
Kalau ada para pihak yang menguasai aset negara tapi belum menyelesaikan kewajibannya, KPK diharapkan mampu mengambil langkah hukum atas persoalan tersebut. Demikian pandangan Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution, kemarin. “Setidaknya ada koordinasi simultan antara KPK, Kejagung maupun Kementerian Keuangan dalam menangani persoalan ini,” ujarnya.
Dia mengingatkan, perjanjian-perjanjian seputar kewajiban para pihak yang berkaitan dengan pengalihan aset ini, diketahui oleh para penegak hukum yang berperan melaksanakan penyitaan aset bermasalah tersebut. “Lazimnya, penyitaan atau eksekusi aset ini ditindaklanjuti dengan penyerahan aset kepada negara, dalam hal ini Kemenkeu.”
Fadli menambahkan, siapa pun pihak yang saat ini menguasai aset terpidana, seperti dalam kasus DL Sitorus, semestinya memenuhi kewajibannya. “Kalau ada ketentuan untuk menyetor pada kas negara, ya harus ditagih. Pihak yang menagih ini tentunya adalah Kemenkeu,” ucapnya.
Jika setoran ke negara sampai macet, lanjutnya, maka PMHI merasa perlu mendesak Kejaksaan Agung untuk memeriksa pihak-pihak terkait. “Kita ketahui bahwa hutan register 40 seluas 47.000 hektar itu telah berubah menjadi kebun kelapa sawit, bisa dibayangkan kira-kira berapa penghasilan dari kebun tersebut selama hampir tiga tahun ini, dikemanakan semua?” tanyanya. [RM]
*rakyatmerdeka.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)