Sebelas (11) warga Jambi yang dievakuasi dari Mesir, mendarat di Bandara Sultan Thaha Jambi, pada Sabtu (5/2) lalu. Banyak cerita pahit yang mereka bawa dari negara yang kini tengah bergolak tersebut. Saat bertemu ibu dan keluarganya yang menjemput bersama rombongan Wakil Gubernur Jambi Fachrori Umar, di bandara Sultan Thaha, Jambi Sabtu lalu, tangis Helmiranti Napitupulu langsung meledak. Wanita asal Desa Mentawak, Kabupaten Merangin ini merupakan satu dari 11 mahasiswa asal Jambi yang baru dievakuasi dari Mesir.
Menurut dia, sejak aksi demonstrasi besar-besaran pecah di Mesir, dia mengaku sangat takut. Apalagi hubungan dengan keluarga yang ada di Jambi terputus.
“Komunikasi dengan keluarga di Jambi benar-benar putus sejak malam pertama pecah demonstrasi besar-saran tanggal 28 Januari lalu,” kata gadis berkacamata ini kepada Jambi Independent, Sabtu lalu.
Untuk sambungan telepon, kata dia, lima hari setelah kerusuhan baru bisa digunakan. Sedangkan internet lebih lama, yaitu tujuh hari baru kembali dibuka.
Sebenarnya, kata Helmiranti, tempat kosnya di Mesir cukup jauh dari pusat kerusuhan di pusat Kota Kairo. “Jaraknya beberapa kilometer. Saya berlima dengan rekan yang belum berkeluarga, dari Jambi juga,” terangnya.
Meski terbilang aman, dampak dari aksi yang menuntut Presiden Mesir Hosni Mobarak mundur itu juga mereka merasakan. Terutama soal komunikasi dan bahan makanan.
Untungnya, lanjut dia, sehari sebelum kerusuhan, mereka sudah berbelanja bahan makanan dalam jumlah banyak, agar tidak kelaparan. “Pengurus Keluarga Mahasiswa Jambi (KMJ) Mesir dan perkumpulan mahasiswa semuanya telah memberi tahu agar menyediakan makan sebelum kerusuhan pecah. Waktu itu mini market yang ada juga sudah mulai ramai,” kata mahasiswi Universitas Al Azhar, jurusan Syariah Islam, semester VI ini.
Dia juga bersyukur, untuk proses evakuasi semuanya telah diatur oleh KMJ dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Mereka yang mahasiswi (perempuan) lebih diutamakan dan didahulukan. “Kami dijemput menuju KBRI dan telah diberitahu sebelumnya untuk bersiap,” ceritanya.
“Kami yang belum berkeluarga ada lima orang. Karena jumlahnya sedikit, jadi didahulukan dievakuasi,” terangnya yang pulang dengan rombongan kloter kedua.
Walaupun demikian, mereka tidak memiliki uang cukup. “ATM diblokir, tapi hanya ada pegang uang dolar, itu pun tidak bisa ditukarkan. Semuanya lumpuh,” katanya, lagi.
Bahkan saat evakuasi menuju bandara internasional di Kairo, mereka beberapa kali dicegat dan diperiksa oleh polisi maupun demonstran. “Mereka hanya memeriksa sopir, dan kami dipersilahkan melanjutkan perjalanan, karena semua lengkap ada dari KBRI,” terangnya.
Namun, penderitaan Helmiranti dkk tidak hanya sampai di situ. Sesampainya di Jakarta sekitar pukul 13.00, Jumat (4/2)lalu-- bertolak dari Mesir pukul 09.00, Kamis malam waktu setempat--, dia juga tidak bisa membeli makanan, karena memegang dolar. “Tidak sempat mau menukarkan uang, tapi makanan dan seluruhnya cukup dipenuhi setiba di Jakarta,” katanya.
Kabar mahasiswa Jambi yang kesulitan mendapat makanan di tempat pemondokan asrama haji Pondok Gede, Jakarta, dibantahnya. Menurut dia, mereka kesulitan makanan hanya saat kepulangan menuju Jambi. “Ya belum ada makan sejak berangkat dari Jakarta hingga sampai ke Jambi. Setelah di Jambi baru ada makan,” ujarnya bercerita sambil tertawa.
“Tidak ada tempat menukarkan uang lagi untuk membeli makanan, semuanya sibuk,” terangnya. Sekarang, Helmiranti mengaku senang telah berkumpul dengan keluarganya.
Cerita serupa juga disampaikan Said Yahya dan istrinya, Zulfa Abdullah. Pasangan suami–istri yang berasal dari Tahtul Yaman, Kota Jambi ini tiba dievakuasi dari Mesir bersama dua anaknya, Zakiyah Said (7) dan Samiyah Said(6). “Alhamdulilah akhirnya bisa berkumpul dengan keluarga di Jambi lagi,” katanya saat ditemui di bandara saat kepulangannya.
Bahkan, dia mengaku sangat lega karena bisa pulang bersamaan dengan istri serta anaknya. “Ada yang masih tinggal di sana dan diharapkan kembali. Mereka memutuskan kembali ke Indonesia karena khawatir keselamatan keluarga, karena di Mesir saat ini seluruh fasilitas publik, seperti bank dan pusat perbelanjaan telah lumpuh,” terangnya. Untuk makan di sana diakui sudah dipersiapkan karena sudah diberitahu sebelumnya.
Hal berbeda dialami Mazroatun, mahasiswi Strata 2 (S-2) Universitas Al Azhar Mesir. Dia pulang tanpa suami yang harus tinggal di Mesir. “Bersyukur bisa berkumpul dengan keluarga, saya pulang bersama adik Layin Natunsifah, tapi suami harus tinggal dulu,” katanya.
Perempuan asal Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo itu tiba di tanah air pada rombongan kloter pertama. “Yang dievakuasi diutamakan wanita dan anak-anak, jadi suami tinggal dulu,” terangnya. Ia berharap semuanya di Mesir aman dan bisa dievakusi secepatnya.
Saat di Mesir dia mengaku tidak mengalami hal yang tidak mengenakkan. “Alhamdulillah sejak dari sana (Mesir) hingga tiba di tanah air tidak terjadi apa-apa,” ujarnya.
Sementara itu, berita yang dilansir situs resmi KMJ Mesir menyebutkan, bantuan logistik bagi Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk mahasiswa asal Jambi yang belum dievakuasi mulai didistribusikan. Distribusi logistik ini disalurkan melalui posko-posko yang dijadikan sebagai tempat pengungsian WNI, terutama sekretariat kekeluargaan berbagai daerah.
Sekretariat Keluarga Mahasiswa Jambi (KMJ) Mesir mendapatkan bantuan logistik untuk pertama kalinya pada Sabtu lalu pukul 12.30 siang waktu setempat.
“KMJ merupakan posko pertama yang kami datangi, kita memulai distribusi Logistik daerah Hayyu Rob’ah dulu, setelah itu baru ke posko-posko lainnya” kata Kurnia, panitia yang menyalurkan bantuan ke posko-posko setempat, seperti dikutip dari situs KMJ.
*jambi-independent.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)