Negeri ini mewarisi satu budaya yang memalukan, yakni budaya tawuran. Dari lapisan masyarakat tingkat paling atas hingga terbawah, kerap mempertontontan perilaku buruk itu. Elit politik saling mengumbar caci maki di media, pejabat yang suka adu jotos, tawuran warga antar kampung, seakan sudah menjadi tradisi turun temurun. Semua itu menjadi menu sehari-hari di layar kaca, terutama sejak era reformasi bergulir. Jadi, jangan heran jika para pelajar ikut-ikutan tawuran.
Memang tidak semua pelajar gemar tawuran. Sebagian besar masih fokus menjalankan tugas belajar. Sebagian lainnya malah mengukir prestasi hingga tingkat internasional. Namun, di kota-kota besar, fenomena tawuran pelajar tetap saja mendominasi berita di layar kaca maupun media cetak dan online.
Seperti yang terjadi sepekan ini. Lantaran memakan korban para kuli tinta, kekerasan pelajar di SMA 6 Jakarta terus diupdate oleh beberapa media nasional. Yang terjadi kemudian adalah saling melempar opini dan tuduhan antara insan media yang menjadi korban dengan pihak sekolah yang mati-matian membela anak didiknya. Alih-alih menyelesaikan persoalan tawuran yang menjadi pokok masalah, kedua kubu malah baku lapor ke pihak berwajib.
Kericuhan itu dimulai saat kameraman Trans 7, Oktaviardi mengambil gambar aksi tawuran yang diduga dilakukan siswa SMA 6 pada Jumat (16/92011) pekan lalu. Namun, siswa yang terlibat tawuran tidak senang diambil gambarnya. Mereka kemudian merampas kaset video hasil rekaman kameraman Trans 7. Senin 19 September 2011 puluhan wartawan melakukan aksi damai di depan SMA 6, mereka menuntut agar pihak sekolah bertanggung jawab atas aksi perampasan tersebut.
Disayangkan, aksi tersebut berujung ricuh. Puluhan siswa memukuli wartawan hingga babak belur, mengakibatkan sedikitnya lima wartawan mengalami luka. Wartawan Seputar Indonesia Yudhistiro salah satunya yang menjadi korban, saat kejadian pria berperawakn tinggi ini dihantam dengan batu bata di kepala bagian belakang.
Yudhistira sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Selain Yudhistira, Panca Syurkani wartawan foto Media Indonesia mengaku juga mendapat serangan dari siswa SMA 6. Beberapa bagian tubuh Panca mengalami memar. Kini kasus ini masih dalam penyelidikan Polres Jakarta Selatan.
Di SMA 6 Jakarta sendiri, tawuran sepertinya sudah menjadi budaya bagi sebagian siswa. Betapa tidak, aksi tawuran sudah seperti menjadi agenda mingguan. Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang juga alumni SMA 6, Agus Suradika, mengakui bahwa budaya tak terpuji tersebut sudah terjadi sejak tahun 80-an. "Ini almamater saya juga," ujarnya.
Namun, Agus mengaku tidak mengetahui secara pasti, berapa kali aksi tawuran yang melibatkan penerusnya. Ia hanya mengisahkan bahwa dulu jadwal tawuran pun sudah ditetapkan. Agus sendiri tak banyak terlibat di tawuran. Sebab, ia memiliki jurus jitu untuk menghindari aksi tersebut. Agar tidak terlibat tawuran, sepulang sekolah orang tua Agus selalu menjemput ke sekolah. "Jadi, sederhana saja, mereka tawuran saya pulang," ujarnya.
Namun, saat ini para pelajar lebih sulit menghindari aksi tawuran. Sebab, orang tua siswa pada sibuk kerja, sehingga jarang yang bisa menjemput anaknya di sekolah. Selain itu, solidaritas dalam urusan kekerasan itu kian berkembang. Toh bukan berarti aksi tawuran tidak bisa dicegah.
Menurut Agus, pihak pertama yang bertanggung jawab adalah para guru dan pengelola sekolah. Namun persoalan pelik itu bulan hanya tangggung jawab pihaka sekolah semata. Terlebih jika aksi tersebut terjadi pada malam hari. "Ini persoalan makro, jadi bukan hanya masalah sekolah tapi menyangkut lingkungan yang lebih luas," ujarnya.
Memang bukan perkara mudah menghentikan budaya tawuran. Pasalnya, tawuran terkait juga dengan maraknya budaya premanisme yang sudah menjerat negeri ini di segala aspek. Jadi,faktor di luar pendidikan ikut memicu lahirnya budaya premanisme di sekolah. Karena itu, semua pihak harus ikut ambil bagian dalam memberantas budaya tawuran pelajar di negeri ini.
Pemerintah berperan menghapuskan tayangan berbaru kekerasan yang merajalela di layar kaca. Sudah tugas negara untuk menjaga mental rakyatnya dari informasi media massa yang merusak. Sedangkan pihak sekolah bertanggung jawab untuk membentengi anak didik dari perilaku barbar, dengan lebih banyak menggelar kegiatan yang bermanfaat, terutama di bidang kerohanian.
Bagaimanapun, guru adalah teladan bagi murid-muridnya. Ia bukan hanya bertugas mengajar di kelas, tapi juga membimbing murid-muridnya di luar sekolah. Saat teladan guru hilang, siswa sekolah pun menjadi beringas. Buntutnya, tawuran pun kerap terjadi.
Menurut Sosiolog Musni Umar, salah satu yang melatarbelakangi tawuran siswa lantaran terjadi degradasi teladan guru-guru. "Makin jarang figur guru yang mendidik dan memberi teladan para siswanya," ujarnya.
Padahal di Jabodetabek, guru-guru sekolah negeri digaji dengan layak. Selain gaji sebagai PNS, ada tunjangan dari Dinas Pendidikan. Masih ditambah lagi pendapatan lain dari penjualan buku, atau tunjangan lain dari internal sekolah. Sayangnya, peningkatan kesejahteraan itu tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. (HP)
*gatra.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)