Kamis siang, Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan delapan nama calon pimpinan KPK ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Delapan orang tersebut, kata Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, dipilih dari sepuluh orang yang lolos di tahap wawancara.
Delapan orang tersebut adalah:
1. Bambang Widjojanto
2. Yunus Hussein
3. Abdullah Hehamahua
4. Handoyo
5. Abraham
6, Zulkarnaen
7. Adnan Pandu Pradja
8. Ariyanto Sutadi
"Ini berdasarkan ranking ya, bukan berdasarkan alphabetis," kata Patrialis di Istana Presiden, Jakarta, Kamis 18 Agustus 2011.
Bambang Widjojanto meraih nilai tertinggi dari tujuh orang lainnya. Anggota pansel, Rheinald Kasali, mengatakan, ranking tersebut dibuat sebagai alat kontrol masyarakat. Ranking ini mencari empat orang bukan cari angka. "Empat top itulah yang top, yang diandalkan. Ini adalah alat kontrol buat masyarakat," kata dia.
Rheinald menambahkan, untuk empat tertinggi pansel berani rekomendasi. "Kalau 5-8 bukan apa-apa karena ada kewajiban undang-undang harus ada 8," ucapnya.
Seperti yang diketahui, delapan orang tersebut melalui proses pendaftaran seleksi ini 233 orang, kemudian lulus seleksi administrasi 142 orang, lulus pembuatan makalah 17 orang. Kemudian masuk dalam proses wawancara 10 orang. Kemudian dua orang di antaranya yakni Egi Sutjiati dan Sayid Fadhil gagal lolos tes wawancara.
Delapan yang lolos ini sedikit berbeda dengan versi Koalisi Masyarakat Sipil. Berdasarkan hasil rekam jejak yang dilakukan koalisi lembaga swadaya masyarakat ini, seharusnya Aryanto Sutadji yang gagal lolos, bukan Egi Sutjiati.
"Berdasarkan hasil temuan koalisi, kami menyimpulkan dua nama tidak layak diloloskan Pansel calon pimpinan KPK sebagai delapan besar nama yang diajukan ke DPR, mereka adalah Aryanto Sutadji dan Sayid Fadhil," kata anggota KMS dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Coki Ramadhan, dalam keterangan pers di kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), Jakarta, Selasa 16 Agustus 2011.
Koalisi mencatat ada 17 temuan yang dinilai tidak berpihak pada pemberantasan korupsi terhadap dua calon tersebut. Aryanto memiliki 11 catatan yang dinilai tidak layak untuk menjadi pimpinan KPK. Sedangkan Sayid memiliki 6 catatan yang dinilai tidak layak.
Adapun catatan untuk Aryanto adalah dinilai tidak jujur melaporkan kekayaan dalam LHKPN, tidak patuh melaporkan LHKPN saat menjabat sebagai Direktur I Keamanan Negara dan Kejahatan Trans-nasional (2004), Kapolda Sulawesi Tengah, Direktur IV Narkoba Bareskrim Polri (2005), Kepala Divisi Pembinaan Hukum Mabes Polri, Perwira Tinggi Mabes Polri (2009).
Selain itu, Aryanto juga mengakui merekayasa LHKPN, dalam sesi wawancara dengan peneliti Koalisi Masyarakat Sipil. Calon mengakui LHKPN yang dilaporkan saat itu sepenuhnya hasil rekayasa, menoleransi rekening gendut para jenderal polisi, mengakui pernah menerima imbalan (gratifikasi) sebagai rasa terima kasih. Aryanto juga dikenal kerap menghentikan penyelidikan perkara.
Sedangkan catatan koalisi untuk Sayid Fadhil adalah banyak melalaikan tugas sebagai dosen di Universitas Syah Kuala Aceh. Terlalu banyak aktivitas di luar kampus hingga karirnya tersendat. Mengakui tidak memiliki prestasi pemberantasan korupsi.
Selain itu, motivasi calon lebih kepada meniti karir dari pada komitmen pemberantasan korupsi. Mengakui memiliki KTP ganda. Tidak jujur dalam penyampaian identitas diri. Sayid juga tidak mencantumkan sebagai staf ahli anggota DPR RI asal Aceh Teuku Rifky Harsya dalam biodata yang diserahkan ke Pansel KPK serta tidak mencantumkan kepemilikan rumah/ alamat rumah di biodata.
"Pansel calon pimpinan KPK tidak boleh menutup mata atas temuan ini. Karena jika masih diloloskan, justru akan menjadi bumerang bagi KPK di waktu yang akan datang. Kami menolak dua calon tersebut," kata peneliti ICW Donal Fariz.
Mengenai rekam jejak itu, Aryanto membantahnya. Menurutnya dirinya tidak pernah memberhentikan suatu kasus yang sedang diusutnya.
"Kalau saya dianggap memberhentikan kasus karena tidak ada bukti praperadilan, kalau itu menang kan berarti salah penyidiknya, begitu. Jangan saya dianggap memberhentikan kasus," katanya.
Mengenai laporan harta kekayaan, Aryanto baru melaporkan kekayaan ke KPK sebanyak 2 kali yakni pada 31 Mei 2001 saat dia menjabat Direktur Pidana Khusus Mabes Polri, dan terakhir pada 17 Maret 2011 saat menjabat Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Konflik Pertanahan.
Sesuai dengan Pasal 5 angka (3) UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN diatur setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Mengenai laporan kekayaan ini, Aryanto mengakui tak melaporkan kekayaannya karena kebingungan dalam mengisi lembar LHKPN. Selain itu, Aryanto mengakui takut jika saat diumumkan kekayaannya lebih besar dari Kapolri saat itu yakni Rp5 miliar.
"Saya bilang kalau saya isi semua saya lebih kaya dari Kapolri, kan Kapolri waktu itu Rp5 miliar. Yang akhirnya diputuskan ya untuk Kapolri Rp5 miliar, untuk asisten operasinya ya pantas-pantasnya Rp2,5 miliar. Untuk wakilnya Rp2 miliar, dan untuk direkturnya tidak lebih dari Rp1,5 miliar, jadi begitu kesepakatannya," ujarnya.
Aryanto juga mengaku bingung saat mengisi LHKPN. "Saya kira semua pejabat negara melakukan hal itu dalam kebingungan. Saya yakin semua orang bimbang mengisinya. Kalau apa adanya nanti ditanya macam-macam, tapi tadi saya jelaskan polisi rekening dapat segini dapat dari gaji ya tidak mungkin dong tapi kan dia berdagang, bisnis, macam-macam sepanjang itu legal ya sah saja."
Sementara soal berbisnis sampingan di saat masih aktif sebagai polisi, Aryanto tak membantah. Saat menjabat sebagai Direktur Serse Umum Mabes Polri, Aryanto menyambi kerja sebagai konsultan hukum sebuah perusahaan kaus. Dia juga tercatat menjadi konsultan hukum di PT Mitra Dana Putra Utama Finance.
Menurut Aryanto, bisnis sampingan ini belum ada aturannya. "Tak ada aturannya berbisnis, kecuali jadi ketua perusahaan itu memang tidak boleh. Polisi kan warga negara juga. Kalau berdagang motor, siapa yang larang," ujarnya.
Menurutnya perusahaan konsultan itu bukanlah miliknya. "Yang punya itu sahabat saya. Saya jadi konsultan masa itu dilarang. Jangan suuzon-lah. Saya mau jadi pimpinan KPK kayak koruptor saja, dituduh ini itu, dicari kesalahannya," ujarnya.
Mengenai kekayaan milik istrinya, Aryanto menjelaskan, istrinya berprofesi sebagai dokter gigi. "Kalau dia punya harta apa dilarang," ujarnya.
Sedangkan Sayid Fadhil yang gagal masuk delapan besar memang mengakui punya dua kartu tanda penduduk. Sayid memiliki KTP untuk wilayah DKI Jakarta dan KTP Banda Aceh. Dan meski pernah tercatat sebagai staf ahli DPR untuk seorang politikus Demokrat, Sayid membantah menjadi fungsionaris partai terbesar itu.
Sementara itu, DPR sudah bersiap memproses 8 nama yang diajukan pemerintah. Senin 22 Agustus, Komisi III DPR akan mulai membahas jadwal uji kelayakan, dan kepatutan bagi kedelapan calon pimpinan KPK itu.
“Senin depan, kami rapat membahas jadwal fit and proper test,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy. Ia menuturkan, sebelum uji kelayakan dan kepatutan, Komisi III akan menjaring masukan lebih dulu dari masyarakat. Mereka juga akan menelusuri rekam jejak para kandidat. “Hasil tracking itu akan menjadi bahan utama,” ujar Ketua Fraksi PAN itu.
Komisi III DPR juga akan mengunjungi keluarga masing-masing calon, dan mengecek kasus yang pernah ditangani para calon. “Semacam napak tilas,” ujar Tjatur.
Adapun catatan untuk Aryanto adalah dinilai tidak jujur melaporkan kekayaan dalam LHKPN, tidak patuh melaporkan LHKPN saat menjabat sebagai Direktur I Keamanan Negara dan Kejahatan Trans-nasional (2004), Kapolda Sulawesi Tengah, Direktur IV Narkoba Bareskrim Polri (2005), Kepala Divisi Pembinaan Hukum Mabes Polri, Perwira Tinggi Mabes Polri (2009).
Selain itu, Aryanto juga mengakui merekayasa LHKPN, dalam sesi wawancara dengan peneliti Koalisi Masyarakat Sipil. Calon mengakui LHKPN yang dilaporkan saat itu sepenuhnya hasil rekayasa, menoleransi rekening gendut para jenderal polisi, mengakui pernah menerima imbalan (gratifikasi) sebagai rasa terima kasih. Aryanto juga dikenal kerap menghentikan penyelidikan perkara.
Sedangkan catatan koalisi untuk Sayid Fadhil adalah banyak melalaikan tugas sebagai dosen di Universitas Syah Kuala Aceh. Terlalu banyak aktivitas di luar kampus hingga karirnya tersendat. Mengakui tidak memiliki prestasi pemberantasan korupsi.
Selain itu, motivasi calon lebih kepada meniti karir dari pada komitmen pemberantasan korupsi. Mengakui memiliki KTP ganda. Tidak jujur dalam penyampaian identitas diri. Sayid juga tidak mencantumkan sebagai staf ahli anggota DPR RI asal Aceh Teuku Rifky Harsya dalam biodata yang diserahkan ke Pansel KPK serta tidak mencantumkan kepemilikan rumah/ alamat rumah di biodata.
"Pansel calon pimpinan KPK tidak boleh menutup mata atas temuan ini. Karena jika masih diloloskan, justru akan menjadi bumerang bagi KPK di waktu yang akan datang. Kami menolak dua calon tersebut," kata peneliti ICW Donal Fariz.
Mengenai rekam jejak itu, Aryanto membantahnya. Menurutnya dirinya tidak pernah memberhentikan suatu kasus yang sedang diusutnya.
"Kalau saya dianggap memberhentikan kasus karena tidak ada bukti praperadilan, kalau itu menang kan berarti salah penyidiknya, begitu. Jangan saya dianggap memberhentikan kasus," katanya.
Mengenai laporan harta kekayaan, Aryanto baru melaporkan kekayaan ke KPK sebanyak 2 kali yakni pada 31 Mei 2001 saat dia menjabat Direktur Pidana Khusus Mabes Polri, dan terakhir pada 17 Maret 2011 saat menjabat Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Konflik Pertanahan.
Sesuai dengan Pasal 5 angka (3) UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN diatur setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Mengenai laporan kekayaan ini, Aryanto mengakui tak melaporkan kekayaannya karena kebingungan dalam mengisi lembar LHKPN. Selain itu, Aryanto mengakui takut jika saat diumumkan kekayaannya lebih besar dari Kapolri saat itu yakni Rp5 miliar.
"Saya bilang kalau saya isi semua saya lebih kaya dari Kapolri, kan Kapolri waktu itu Rp5 miliar. Yang akhirnya diputuskan ya untuk Kapolri Rp5 miliar, untuk asisten operasinya ya pantas-pantasnya Rp2,5 miliar. Untuk wakilnya Rp2 miliar, dan untuk direkturnya tidak lebih dari Rp1,5 miliar, jadi begitu kesepakatannya," ujarnya.
Aryanto juga mengaku bingung saat mengisi LHKPN. "Saya kira semua pejabat negara melakukan hal itu dalam kebingungan. Saya yakin semua orang bimbang mengisinya. Kalau apa adanya nanti ditanya macam-macam, tapi tadi saya jelaskan polisi rekening dapat segini dapat dari gaji ya tidak mungkin dong tapi kan dia berdagang, bisnis, macam-macam sepanjang itu legal ya sah saja."
Sementara soal berbisnis sampingan di saat masih aktif sebagai polisi, Aryanto tak membantah. Saat menjabat sebagai Direktur Serse Umum Mabes Polri, Aryanto menyambi kerja sebagai konsultan hukum sebuah perusahaan kaus. Dia juga tercatat menjadi konsultan hukum di PT Mitra Dana Putra Utama Finance.
Menurut Aryanto, bisnis sampingan ini belum ada aturannya. "Tak ada aturannya berbisnis, kecuali jadi ketua perusahaan itu memang tidak boleh. Polisi kan warga negara juga. Kalau berdagang motor, siapa yang larang," ujarnya.
Menurutnya perusahaan konsultan itu bukanlah miliknya. "Yang punya itu sahabat saya. Saya jadi konsultan masa itu dilarang. Jangan suuzon-lah. Saya mau jadi pimpinan KPK kayak koruptor saja, dituduh ini itu, dicari kesalahannya," ujarnya.
Mengenai kekayaan milik istrinya, Aryanto menjelaskan, istrinya berprofesi sebagai dokter gigi. "Kalau dia punya harta apa dilarang," ujarnya.
Sedangkan Sayid Fadhil yang gagal masuk delapan besar memang mengakui punya dua kartu tanda penduduk. Sayid memiliki KTP untuk wilayah DKI Jakarta dan KTP Banda Aceh. Dan meski pernah tercatat sebagai staf ahli DPR untuk seorang politikus Demokrat, Sayid membantah menjadi fungsionaris partai terbesar itu.
Sementara itu, DPR sudah bersiap memproses 8 nama yang diajukan pemerintah. Senin 22 Agustus, Komisi III DPR akan mulai membahas jadwal uji kelayakan, dan kepatutan bagi kedelapan calon pimpinan KPK itu.
“Senin depan, kami rapat membahas jadwal fit and proper test,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy. Ia menuturkan, sebelum uji kelayakan dan kepatutan, Komisi III akan menjaring masukan lebih dulu dari masyarakat. Mereka juga akan menelusuri rekam jejak para kandidat. “Hasil tracking itu akan menjadi bahan utama,” ujar Ketua Fraksi PAN itu.
Komisi III DPR juga akan mengunjungi keluarga masing-masing calon, dan mengecek kasus yang pernah ditangani para calon. “Semacam napak tilas,” ujar Tjatur.
Setelah semua langkah itu dilakukan, kata Tjatur, barulah “Terakhir akan dilakukan fit and proper test.” Jika tak ada aral-melintang, pimpinan KPK yang terpilih dari uji kelayakan dan kepatutan itu, terang Tjatur, akan dilantik pada bulan Desember 2011. (eh)
• VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)