Ketua Komisi VIII Abdul Kadir Karding menilai, Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) berat sebelah terkait kunjungan kerja komisi ini dan audiensi di Melbourne, Australia. PPIA dinilai tak proporsional dengan hanya mengungkap sisi-sisi negatif dari interaksi dengan anggota Dewan.
"Bagi kami, pengawasan dan kritik masyarakat itu penting. Walau demikian, saya kira harus proporsional. Maksudnya tidak berlebihan, mengungkap hanya sisi-sisi yang mereka anggap negatif. Karena, pada prinsipnya, kegiatan Komisi VIII di tiga kota di Australia itu full, tidak ada kata santai sama sekali," ungkapnya kepada Kompas.com, Kamis (5/5/2011).
Menurut Karding, jadwal kunjungan kerja 11 anggota komisi agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan ini ke Australia padat dan selalu didampingi oleh pejabat birokrasi dari Kedutaan Besar RI untuk Australia. Perwakilan PPIA juga ikut serta dalam sejumlah kegiatan yang dilakukan Komisi VIII.
"Jadi, makanya saya katakan berlebihan. Mereka sejak awal, ketika kami mau berangkat, surat untuk Komisi VIII malah dikirim ke pers dulu, bukan ke Komisi VIII, dengan alasan mereka enggak punya kontak Komisi VIII. Harusnya kan ke kami dulu. Nah, setelah itu sampai ke kami, kan kami jawab, lalu kami kirim surat," tambahnya.
Politisi PKB ini juga menegaskan bahwa semua permintaan PPIA sudah dituruti oleh Komisi VIII, agar segala kegiatan anggota Dewan di Australia bisa terbuka. Permintaan untuk audiensi dengan PPIA di Melbourne, Sydney, dan Canberra juga dipenuhi komisi ini. PPIA juga diikutsertakan dalam pertemuan komisi dengan tiga departemen pemerintahan Australia di Canberra. Oleh karena itu, Karding mengaku heran dengan penilaian yang sangat subyektif tersebut.
Tendensius sekali
Karding mencatat sejumlah penilaian tendensius dari para pelajar dan mahasiswa tersebut. Pertama, dalam penilaian PPIA yang dimuat di situs resminya disebutkan bahwa kedatangan Komisi VIII tak tepat waktu. Padahal, menurut dia, Komisi diundang untuk acara pukul 19.00. Bukan pukul 18.00 seperti yang ditulis oleh PPIA. Oleh karena itu, anggota Komisi tiba di tempat pada pukul 18.55.
Hal tendensius lainnya, lanjut Karding, adalah ketika sesi tanya jawab. Menurut dia, pertanyaan-pertanyaan para pelajar dan mahasiswa adalah hal-hal teknis, seperti soal e-mail dan anggaran kunjungan kerja. "Kami kan pejabat politik, tak tahu teknis detail, kami punya staf dan tenaga ahli. Kami harap dialog adalah soal kemiskinan, radikalisme, dan hal sosial lainnya. Eh, hanya ada dua pertanyaan yang terkait fakir miskin dan radikalisme," ujarnya.
Jadi heran kami, sudah terbuka gini, masih dicari-cari hal yang tak substantif. Saya lihat, mereka kan pelajar, proporsional dong, harusnya lebih berimbang memberikan penilaian terhadap sesuatu. Mereka kan kader bangsa. Kalau cara berpikirnya terlalu sempit, ya susah. Hanya satu-dua orang yang begitu. Menurut beberapa pelajar lainnya, katanya memang ada (pelajar dan mahasiswa) yang agak rewel," tandasnya.
*kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)