WikiLeaks, yang digagas seorang warga negara Australia, Julian Assange, ternyata membuat banyak kepala pemerintahan di dunia tidak bisa tidur nyenyak. Bayangkan, organisasi nonprofit ini dalam waktu sekejap bisa mencuri sekitar 250.000 kawat diplomatik yang dikirimkan para diplomat Amerika Serikat (AS) di berbagai negara ke Departemen Luar Negeri AS di Washington DC.
Secara lambat tapi pasti, sedikit demi sedikit,dari kawat diplomatik, dibocorkan melalui media massa dengan harapan publik dapat mengetahui kebohongan-kebohongan politisi dan pemerintah serta agar pemerintah terbuka kepada rakyatnya.
Secara langsung WikiLeaks ingin memperkuat penerapan good governancedan clean government. Secara tidak langsung, WikiLeaks juga memberi informasi kepada kita bagaimana cara pandang para diplomat AS terhadap negara-negara tempat mereka diposkan. Satu sisi yang juga kita pelajari,betapa luasnya pergaulan para diplomat AS ini dengan para narasumber penting di negara tuan rumah.
Mulai dari aktivis mahasiswa, pengusaha, akademisi, pelaku ekonomi, aktivis HAM, politisi, sampai ke pejabat negara atau orang-orang yang dekat dengan penguasa negara. WikiLeaks telah membuat banyak tokoh politik di berbagai negara, khususnya penguasa negara yang korup, menjadi kesal dan susah untuk memejamkan mata mereka, takut kalau suatu saat perilaku koruptifnya dibocorkan kepada publik di negaranya.
Ada juga yang takut pandangan atau komentar politiknya yang pedas dan tajam terhadap politisi negara lain juga dibocorkan kepada publik. Namun, suatu hal yang amat positif bagi rakyat, dengan berbagai kebocoran yang dilakukan WikiLeaks kepada media massa,para penguasa di muka bumi ini tentu akan semakin berhati-hati untuk bertindak koruptif, baik korupsi politik maupun korupsi ekonomi.
Terlepas dari berbagai bantahan ataupun sanggahan dalam bentuk apa pun dari penguasa di mana pun, adagium Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely tetap berlaku di seantero negeri, kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa sang penguasa benar-benar bersih dan akuntabel.
Kasus The Age
Jumat (11/3), dua harian Australia yang dimiliki raja media John Fairfax,The Agedan The Sydney Morning Herald, memuat berita dengan judul yang amat bombastis ”Yudhoyono Abused Power’”. Berita itu lagi-lagi berasal dari Wiki- Leaks yang berisi kawat diplomatik yang dikirim diplomat AS di Jakarta ke Washington DC.Butir-butir penting dari berita itu ialah: Pertama,Presiden SBY pernah menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi proses hukum di Indonesia terkait tokoh-tokoh penting yang diduga melakukan korupsi.
Kedua, SBY pernah menggunakan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mematamatai lawan dan kawan politiknya. Ketiga, SBY dekat dengan kalangan pengusaha yang diduga melakukan bribes and kickbacks atau yang menyumbang dana kampanye demi mendapatkan keuntungan atau kemudahan ekonomi dan politik setelah politisi yang didanainya memenangi pemilihan umum. Keempat, ibu negaraAni Yudhoyono mencari keuntungan ekonomi dari posisi jabatan suaminya.
Kawat diplomatik itu memang ditulis apa adanya,masih mentah, bersifat laporan awal, dan bukan mustahil berseri. Para diplomat AS saat itu,2004- 2010, tentu diberi tugas oleh Washington untuk memberi informasi penting mengenai situasi politik di Indonesia menjelang pemilu presiden pertama di Indonesia pada 2004 dan perkembangan politik setelah itu.
Kedutaan AS dapat saja marah atau mengatakan bahwa pemberitaan media massa yang bersumber dari WikiLeaks tidak bertanggung jawab dan substansi isi kawat diplomatik itu bukanlah cermin kebijakan AS terhadap Indonesia. Dubes AS untuk Indonesia dapat pula meminta maaf kepada Presiden SBY dan rakyat Indonesia soal pemuatan berita itu.Tapi, tidak dapat dibantah bahwa memang sudah menjadi tugas para diplomat untuk memberi data mentah hari demi hari mengenai perkembangan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan di negara tempat mereka diposkan.
Para staf khusus dan pembantu Presiden SBY dapat saja melontarkan komentar tak sedap kepada The Age dan The Sydney Morning Herald dengan mengatakan,berita itu sampah, sudah basi, hanya gunjingan murahan dari media yang tidak kredibel. Tapi kita tahu, dua media itu sudah ada bahkan sebelum Federasi Australia terbentuk pada 1 Januari 1901.
The Age yang terbit di ibu kota Negara Bagian Victoria, Melbourne, terbit pertama kali pada 1854 dan kini beroplah 600.000 eksemplar, sedangkan The Sydney Morning Heraldyang terbit di ibu kota Negara Bagian NewSouth Wales,Sydney,sudah terbit sejak 1831 dengan oplah 750.000 eksemplar.
Dua media itu hanya dapat ditandingi oleh koran The Australianyang terbit di ibu kota Australia,Canberra. Pers di Australia memang menjadi watchdog bagi Pemerintah Australia dan pemerintah- pemerintah di negara tetangganya. Jika perlu, pers Australia dapat saja menggiring pemilih Australia agar jangan memilih lagi pemerintahan yang sudah terlalu lama berkuasa di negeri itu.
Tiga koran tersebut secara tidak langsung ikut menggulingkan pemerintahan PM John Howard pada pemilu Federal Oktober 2007 dan menjagokan Kevin Rudd dari Partai Buruh Australia. Harian Post-Courier yang terbit di Brisbane pernah juga mengajak pemilih di Negara Bagian Queensland agar jangan lagi memilih Sir Bjelke Peterson yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun dan mengajak rakyat memilih Wyne Gosh calon premier dari Partai Buruh Australia melalui tajuknya berjudul ”It’s Time”. The Sydney Morning Herald pernah juga memuat berita yang amat menohok keluarga Soehartopada10 April1986berjudul ”After Marcos,Now for Soeharto’s Millions.”
Isinya soal bisnis keluarga Cendana. Tak ada tuntutan dari keluarga Soeharto, tapi tindakan balasan yang tidak bersahabat dari para pejabat Indonesia kepada Australia. Kini,akankah keluarga SBY akanmenuntutduamediatertua di Australia itu? Undang- Undang Pers di Australia sangat fair.Jika pers memuat berita bohong atau fitnah,ia bisa dituntut ganti rugi melalui pengadilan.
Karena itu,jika yakin bahwa pemerintahan SBY tidak pernah melakukan perbuatan koruptif dalam bentuk apa pun,terbuka jalan untuk memenangi pengadilan di Australia.Jika kalah di pengadilan, rakyat makin tahu dan merasakan, adagium Lord Acton bahwa power tends to corruptjuga terjadi di negeri ini!
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang
Intermestic Affairs LIPI
Secara langsung WikiLeaks ingin memperkuat penerapan good governancedan clean government. Secara tidak langsung, WikiLeaks juga memberi informasi kepada kita bagaimana cara pandang para diplomat AS terhadap negara-negara tempat mereka diposkan. Satu sisi yang juga kita pelajari,betapa luasnya pergaulan para diplomat AS ini dengan para narasumber penting di negara tuan rumah.
Mulai dari aktivis mahasiswa, pengusaha, akademisi, pelaku ekonomi, aktivis HAM, politisi, sampai ke pejabat negara atau orang-orang yang dekat dengan penguasa negara. WikiLeaks telah membuat banyak tokoh politik di berbagai negara, khususnya penguasa negara yang korup, menjadi kesal dan susah untuk memejamkan mata mereka, takut kalau suatu saat perilaku koruptifnya dibocorkan kepada publik di negaranya.
Ada juga yang takut pandangan atau komentar politiknya yang pedas dan tajam terhadap politisi negara lain juga dibocorkan kepada publik. Namun, suatu hal yang amat positif bagi rakyat, dengan berbagai kebocoran yang dilakukan WikiLeaks kepada media massa,para penguasa di muka bumi ini tentu akan semakin berhati-hati untuk bertindak koruptif, baik korupsi politik maupun korupsi ekonomi.
Terlepas dari berbagai bantahan ataupun sanggahan dalam bentuk apa pun dari penguasa di mana pun, adagium Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely tetap berlaku di seantero negeri, kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa sang penguasa benar-benar bersih dan akuntabel.
Kasus The Age
Jumat (11/3), dua harian Australia yang dimiliki raja media John Fairfax,The Agedan The Sydney Morning Herald, memuat berita dengan judul yang amat bombastis ”Yudhoyono Abused Power’”. Berita itu lagi-lagi berasal dari Wiki- Leaks yang berisi kawat diplomatik yang dikirim diplomat AS di Jakarta ke Washington DC.Butir-butir penting dari berita itu ialah: Pertama,Presiden SBY pernah menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi proses hukum di Indonesia terkait tokoh-tokoh penting yang diduga melakukan korupsi.
Kedua, SBY pernah menggunakan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mematamatai lawan dan kawan politiknya. Ketiga, SBY dekat dengan kalangan pengusaha yang diduga melakukan bribes and kickbacks atau yang menyumbang dana kampanye demi mendapatkan keuntungan atau kemudahan ekonomi dan politik setelah politisi yang didanainya memenangi pemilihan umum. Keempat, ibu negaraAni Yudhoyono mencari keuntungan ekonomi dari posisi jabatan suaminya.
Kawat diplomatik itu memang ditulis apa adanya,masih mentah, bersifat laporan awal, dan bukan mustahil berseri. Para diplomat AS saat itu,2004- 2010, tentu diberi tugas oleh Washington untuk memberi informasi penting mengenai situasi politik di Indonesia menjelang pemilu presiden pertama di Indonesia pada 2004 dan perkembangan politik setelah itu.
Kedutaan AS dapat saja marah atau mengatakan bahwa pemberitaan media massa yang bersumber dari WikiLeaks tidak bertanggung jawab dan substansi isi kawat diplomatik itu bukanlah cermin kebijakan AS terhadap Indonesia. Dubes AS untuk Indonesia dapat pula meminta maaf kepada Presiden SBY dan rakyat Indonesia soal pemuatan berita itu.Tapi, tidak dapat dibantah bahwa memang sudah menjadi tugas para diplomat untuk memberi data mentah hari demi hari mengenai perkembangan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan di negara tempat mereka diposkan.
Para staf khusus dan pembantu Presiden SBY dapat saja melontarkan komentar tak sedap kepada The Age dan The Sydney Morning Herald dengan mengatakan,berita itu sampah, sudah basi, hanya gunjingan murahan dari media yang tidak kredibel. Tapi kita tahu, dua media itu sudah ada bahkan sebelum Federasi Australia terbentuk pada 1 Januari 1901.
The Age yang terbit di ibu kota Negara Bagian Victoria, Melbourne, terbit pertama kali pada 1854 dan kini beroplah 600.000 eksemplar, sedangkan The Sydney Morning Heraldyang terbit di ibu kota Negara Bagian NewSouth Wales,Sydney,sudah terbit sejak 1831 dengan oplah 750.000 eksemplar.
Dua media itu hanya dapat ditandingi oleh koran The Australianyang terbit di ibu kota Australia,Canberra. Pers di Australia memang menjadi watchdog bagi Pemerintah Australia dan pemerintah- pemerintah di negara tetangganya. Jika perlu, pers Australia dapat saja menggiring pemilih Australia agar jangan memilih lagi pemerintahan yang sudah terlalu lama berkuasa di negeri itu.
Tiga koran tersebut secara tidak langsung ikut menggulingkan pemerintahan PM John Howard pada pemilu Federal Oktober 2007 dan menjagokan Kevin Rudd dari Partai Buruh Australia. Harian Post-Courier yang terbit di Brisbane pernah juga mengajak pemilih di Negara Bagian Queensland agar jangan lagi memilih Sir Bjelke Peterson yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun dan mengajak rakyat memilih Wyne Gosh calon premier dari Partai Buruh Australia melalui tajuknya berjudul ”It’s Time”. The Sydney Morning Herald pernah juga memuat berita yang amat menohok keluarga Soehartopada10 April1986berjudul ”After Marcos,Now for Soeharto’s Millions.”
Isinya soal bisnis keluarga Cendana. Tak ada tuntutan dari keluarga Soeharto, tapi tindakan balasan yang tidak bersahabat dari para pejabat Indonesia kepada Australia. Kini,akankah keluarga SBY akanmenuntutduamediatertua di Australia itu? Undang- Undang Pers di Australia sangat fair.Jika pers memuat berita bohong atau fitnah,ia bisa dituntut ganti rugi melalui pengadilan.
Karena itu,jika yakin bahwa pemerintahan SBY tidak pernah melakukan perbuatan koruptif dalam bentuk apa pun,terbuka jalan untuk memenangi pengadilan di Australia.Jika kalah di pengadilan, rakyat makin tahu dan merasakan, adagium Lord Acton bahwa power tends to corruptjuga terjadi di negeri ini!
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang
Intermestic Affairs LIPI
*seputar-indonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)