Andai Institut Pertanian Bogor (IPB) tidak pernah melakukan penelitian susu yang mengandung Enterobacter sakazakii, hingga kini dunia tak akan pernah punya standar kesehatan susu dan makanan yang baik. Berkat penelitian yang dipimpin Dr Sri Estuningsih, dunia internasional jadi tahu bagaimana risiko infeksi E.sakazakii pada manusia.
Penelitian berjudul 'Potensi Kejadian Meningitis pada Mencit Neonatus akibat Infeksi Enterobacter sakazakii' ini pun dipresentasikan dalam sidang-sidang World Health Organization (WHO) dan Food and Drug Administration (FAO).
Dunia menilai penelitian Dr Sri Estuningsih sebagai kontribusi penting untuk kemanusiaan sehingga ia terpilih sebagai delegasi Asia dalam pertemuan para ahli di Roma yang membahas risiko infeksi E.sakazakii pada manusia.
Menurut Rektor IPB Herry Prof Herry Suhardiyanto, penelitian tersebut akhirnya dijadikan pertimbangan untuk penetapan standar Codex Alimentarius (Standar Internasional Kesehatan Konsumen).
Dus, sejak saat itu standar Codex menetapkan susu formula tidak boleh mengandung Enterobacter sakazakii. Alhasil, seluruh negara anggota Codex sejak tahun 2008 harus mengikuti standar terbaru tersebut untuk susu formula, makanan dan kosmetik termasuk Indonesia.
"Penelitian ini justru menyadarkan agar tidak keterusan mengonsumsi susu yang mengandung E.sakazakii. Terbukti setelah BPOM mengadopsi aturan Codex pada Oktober 2008, hanya 4 bulan sejak ditetapkan Codex, penelitian ulang dengan metode yang sama menunjukkan hasil negatif pada semua sampel yang digunakan," ungkap Prof Herry dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Rabu (23/2/2011).
Tapi hasil penelitian yang mendapatkan apresiasi dari dunia internasional ini justru menjadi kontroversi di dalam negeri. Mewakili suara konsumen, seorang pengacara bernama David Tobing menggugat Menkes, BPOM dan IPB untuk mengumumkan merek susu yang digunakan dalam penelitian tersebut.
Sejak saat itu masyarakat resah, bahkan muncul tuduhan ada kongkalikong antara pabrik susu dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan tidak diumumkannya merek susu yang diteliti tersebut. Penjelasan pihak tergugat bahwa risiko infeksi E.sakazakii hanya terjadi di rumah sakit pada bayi tertentu yang bermasalah dengan ketahanan tubuh hingga kini belum mampu meredam keresahan tersebut.
Begitu pula dengan hasil penelitian ulang yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang tidak menemukan lagi susu yang mengandung Enterobacter sakazakii, juga dirasa tidak cukup.
Publik terus-terusan menuntut agar susu yang diteliti IPB itu diumumkan, walaupun menurut beberapa pakar kesehatan seperti Dr Utami Roesli, SpA, MBA, IBCLC yang pernah dihubungi detikHealth mengatakan, pengumuman nama susu tersebut sudah tidak lagi relevan karena penelitiannya dilakukan tahun 2003 sementara penelitian terbaru menunjukkan hasil negatif. Fokus sekarang menurut Dr Utami adalah menyelamatkan bayi di bawah 1 tahun agar tidak mengonsumsi susu formula tapi lebih utamakan ASI.
Sementara Prof Herry dalam jumpa pers Rabu kemarin mengatakan tidak semua penelitian harus mempublikasikan identitas sampel yang digunakan.
"Harus dilihat tujuan penelitiannya. Yang dilakukan IPB tahun 2003-2006 adalah penelitian isolasi dan identifikasi bakteri patogen, atau kiasannya adalah 'berburu bakteri'. Bukan surveilance yang tujuannya memang mengungkap susu apa saja yang terkontaminasi," jelas Prof Herry.
Karena jenis penelitian IPB adalah penelitian isolasi, menurutnya tidak lazim mencantumkan identitas sampel yang digunakan karena tidak bisa mewakili seluruh populasi susu formula. Dalam jurnal internasional, perusahaan dan merek susu yang menjadi sampel penelitian isolasi hanya disebut dengan kode tertentu.
Tapi jika itu penelitian surveilance maka harus dicantumkan merek susu yang diteliti. Namun tentunya ada syarat keterwakilan populasi yang harus dipenuhi dalam penelitian surveilance. Misalnya untuk meneliti kontaminasi E.sakazakii, dari tiap batch susu formula harus diambil 30 sampel masing-masing sebanyak 10 gram.
"Kalau penelitian isolasi harus menyebutkan merek sampel yang dipakai, menjadi tidak fair bagi yang tidak diteliti. Belum tentu yang lain bebas dari E.sakazakii. Apalagi penelitiannya dilakukan tahun 2003-2006, sementara Codex baru mengatur kontaminasi E.sakazakii dalam susu formula bulan Juli 2008," jelas Prof Herry.
Penelitian isolasi IPB menguji bayi tikus yang terkena bakteri E.sakazakii terbukti bisa memicu meningitis. Meski belum dibuktikan pada manusia, namun bakteri ini diyakini punya potensi yang membahayakan terutama pada bayi yang punya masalah ketahanan tubuh misalnya karena lahir prematur atau terinfeksi HIV. Karena itu, E.sakazakii disebut juga parasit oportunistik yakni parasit yang hanya menyerang jika kekebalan tubuh lemah seperti kekebalan tubuh bayi dan penderita HIV
(up/ir)
Penelitian berjudul 'Potensi Kejadian Meningitis pada Mencit Neonatus akibat Infeksi Enterobacter sakazakii' ini pun dipresentasikan dalam sidang-sidang World Health Organization (WHO) dan Food and Drug Administration (FAO).
Dunia menilai penelitian Dr Sri Estuningsih sebagai kontribusi penting untuk kemanusiaan sehingga ia terpilih sebagai delegasi Asia dalam pertemuan para ahli di Roma yang membahas risiko infeksi E.sakazakii pada manusia.
Menurut Rektor IPB Herry Prof Herry Suhardiyanto, penelitian tersebut akhirnya dijadikan pertimbangan untuk penetapan standar Codex Alimentarius (Standar Internasional Kesehatan Konsumen).
Dus, sejak saat itu standar Codex menetapkan susu formula tidak boleh mengandung Enterobacter sakazakii. Alhasil, seluruh negara anggota Codex sejak tahun 2008 harus mengikuti standar terbaru tersebut untuk susu formula, makanan dan kosmetik termasuk Indonesia.
"Penelitian ini justru menyadarkan agar tidak keterusan mengonsumsi susu yang mengandung E.sakazakii. Terbukti setelah BPOM mengadopsi aturan Codex pada Oktober 2008, hanya 4 bulan sejak ditetapkan Codex, penelitian ulang dengan metode yang sama menunjukkan hasil negatif pada semua sampel yang digunakan," ungkap Prof Herry dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Rabu (23/2/2011).
Tapi hasil penelitian yang mendapatkan apresiasi dari dunia internasional ini justru menjadi kontroversi di dalam negeri. Mewakili suara konsumen, seorang pengacara bernama David Tobing menggugat Menkes, BPOM dan IPB untuk mengumumkan merek susu yang digunakan dalam penelitian tersebut.
Sejak saat itu masyarakat resah, bahkan muncul tuduhan ada kongkalikong antara pabrik susu dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan tidak diumumkannya merek susu yang diteliti tersebut. Penjelasan pihak tergugat bahwa risiko infeksi E.sakazakii hanya terjadi di rumah sakit pada bayi tertentu yang bermasalah dengan ketahanan tubuh hingga kini belum mampu meredam keresahan tersebut.
Begitu pula dengan hasil penelitian ulang yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang tidak menemukan lagi susu yang mengandung Enterobacter sakazakii, juga dirasa tidak cukup.
Publik terus-terusan menuntut agar susu yang diteliti IPB itu diumumkan, walaupun menurut beberapa pakar kesehatan seperti Dr Utami Roesli, SpA, MBA, IBCLC yang pernah dihubungi detikHealth mengatakan, pengumuman nama susu tersebut sudah tidak lagi relevan karena penelitiannya dilakukan tahun 2003 sementara penelitian terbaru menunjukkan hasil negatif. Fokus sekarang menurut Dr Utami adalah menyelamatkan bayi di bawah 1 tahun agar tidak mengonsumsi susu formula tapi lebih utamakan ASI.
Sementara Prof Herry dalam jumpa pers Rabu kemarin mengatakan tidak semua penelitian harus mempublikasikan identitas sampel yang digunakan.
"Harus dilihat tujuan penelitiannya. Yang dilakukan IPB tahun 2003-2006 adalah penelitian isolasi dan identifikasi bakteri patogen, atau kiasannya adalah 'berburu bakteri'. Bukan surveilance yang tujuannya memang mengungkap susu apa saja yang terkontaminasi," jelas Prof Herry.
Karena jenis penelitian IPB adalah penelitian isolasi, menurutnya tidak lazim mencantumkan identitas sampel yang digunakan karena tidak bisa mewakili seluruh populasi susu formula. Dalam jurnal internasional, perusahaan dan merek susu yang menjadi sampel penelitian isolasi hanya disebut dengan kode tertentu.
Tapi jika itu penelitian surveilance maka harus dicantumkan merek susu yang diteliti. Namun tentunya ada syarat keterwakilan populasi yang harus dipenuhi dalam penelitian surveilance. Misalnya untuk meneliti kontaminasi E.sakazakii, dari tiap batch susu formula harus diambil 30 sampel masing-masing sebanyak 10 gram.
"Kalau penelitian isolasi harus menyebutkan merek sampel yang dipakai, menjadi tidak fair bagi yang tidak diteliti. Belum tentu yang lain bebas dari E.sakazakii. Apalagi penelitiannya dilakukan tahun 2003-2006, sementara Codex baru mengatur kontaminasi E.sakazakii dalam susu formula bulan Juli 2008," jelas Prof Herry.
Penelitian isolasi IPB menguji bayi tikus yang terkena bakteri E.sakazakii terbukti bisa memicu meningitis. Meski belum dibuktikan pada manusia, namun bakteri ini diyakini punya potensi yang membahayakan terutama pada bayi yang punya masalah ketahanan tubuh misalnya karena lahir prematur atau terinfeksi HIV. Karena itu, E.sakazakii disebut juga parasit oportunistik yakni parasit yang hanya menyerang jika kekebalan tubuh lemah seperti kekebalan tubuh bayi dan penderita HIV
(up/ir)
*detik.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)