Masuknya Jambi dalam daftar lima besar provinsi yang peraturan daerah (perda)- nya bermasalah, dinilai sebagian pengamat dan para akademisi adalah sesuatu hal yang wajar. Menurut mereka, banyak faktor yang menyebabkan perda yang dibuat pemda dianulir, karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Padahal, lanjut dia, perda yang dicontoh tersebut belum tentu sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah. Pada dasarnya perda tersebut ditolak karena beberapa alasan. Pertama, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kedua, tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik. Dan, ketiga, berkaitan dengan hak asasi manusia dan kepentingan umum serta moral.
Sebenarnya, menurut Johni, perda tersebut bukannya dicabut semua. “Ada beberapa rekomendasi dari evaluasi Kementerian Dalam Negeri. Seperti direvisi total, direvisi sebagian hingga hanya direvisi redaksional saja karena banyak pengulangan-pengulangan,” kata Guru Besar Perbandingan Hukum Universitas Jambi ini.
Seperti diberitakan, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sepanjang 2002-2009, tercatat sebanyak 94 perda dari Provinsi Jambi dibatalkan Kemendagri. Hal ini karena dinilai bertentangan dengan perundang-undangan dan tidak sesuai dengan kepentingan publik.
Jumlah tersebut merupakan bagian dari 2.285 perda dari 33 provinsi di Indonesia yang dibatalkan Kemendagri melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri. Lima besar provinsi yang paling banyak perda-nya dibatalkan yaitu Sumatera Utara 180 perda, Jawa Timur 138 perda, Jawa Barat 115 perda, Sulawesi Selatan 97 perda, dan Jambi 94 perda.
Selanjutnya, Jawa Tengah 86 perda, Kalimantan Timur 81 perda, Riau 80 perda, Kalimantan Tengah 75 perda, dan Sulawesi Tengah 68 perda. Kemudian, pada evaluasi 2010, Kemendagri menyatakan ada 407 perda se-Indonesia yang bermasalah. Selebihnya 2.593 perda lainnya tidak bermasalah dan dapat diimplementasikan.
Dari 407 perda yang bermasalah tersebut, dari wilayah Jambi tercatat sebanyak 14 perda. Masih menurut data dari Kemendagri, dari 11 kabupaten/kota di Jambi, daerah yang paling banyak perda-nya dibatalkan adalah Kota Jambi, yakni 18 perda. Lalu disusul Batanghari 17 perda, Bungo 15 perda, Muarojambi sembilan perda dan Merangin delapan perda.
Selanjutnya, Tebo tujuh perda, Tanjab Barat tujuh perda, Pemprov Jambi tujuh perda, Kerinci empat perda, Sarolangun tiga perda, dan Tanjab Timur tiga perda.
Menurut Johni Najwan, masalah-masalah tersebut muncul karena beberapa faktor. Pertama menyangkut kesungguhan DPRD dalam mengkaji perda yang diajukan eksekutif. “Artinya tidak ada kesungguhan dewan untuk mengkaji perda yang diajukan. Karena ingin cepat selesai, lalu disahkan begitu saja,” katanya.
Kedua, berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) yang merancang perda-perda tersebut. Untuk diketahui, di daerah (kabupaten/kota), SDM menjadi masalah serius. Kalaupun ada jumlahnya sangat sedikit dan belum memenuhi kualifikasi untuk menyusun rancangan peraturan daerah (ranperda).
Kendala lain adalah masalah dana. Keterbatasan dana akan mempengaruhi studi untuk menyusun perda. Dia mencontohkan keterbatasan biaya untuk menggandeng staf ahli dari universitas, studi banding dan lainnya.
Lalu, berapa besaran dana yang diperlukan untuk membuat sebuah perda?
Johni Najwan mengatakan, tidak ada patokan tertentu jumlah dana untuk menyusun suatu perda. “Sesuai dengan UU 17 tahun 2003, pengeluaran anggaran adalah berbasis kinerja,” katanya. Jadi, dana penyusunan perda disesuaikan dengan produk peraturan tersebut dan kebutuhan.
“Kalau perda tersebut membutuhkan studi yang lebih, turun ke lapangan dan sebagainya, tentu akan memakan biaya yang lebih juga,” jelasnya. Namun, selama ini, Johni mensinyalir ada yang memberlakukan penyusunan ranperda dalam bentuk proyek. “Seharusnya tidak boleh, tapi selama ini ada yang melakukan seperti itu,” ungkapnya.
Sebagai solusi, Johni menyarankan, ke depan, pemda bisa menggandeng universitas sebagai konsultan tenaga ahli ketika membuat perda. Dengan begitu perda yang dibuat bisa berkualitas. Dia mencontohkan, penyusunan ranperda di Pemprov Jambi. Pada 2010 tidak ada yang ditolak, karena telah bekerja sama dengan Unja.
“Gandeng universitas untuk kesiapan SDM, karena tenaga ahli memang banyak dari universitas,” katanya sambil memuji langkah kabupaten yang mulai banyak bekerja sama dengan universitas-universitas. Dengan bekerja sama, menurut dia, pemda tidak perlu sulit menyusun naskah akedemik perda tersebut.
Terpisah, Kepala Biro Hukum Seda Provinsi Jambi Jailani mengatakan, kendala yang mereka hadapi dalam membuat perda adalah anggaran yang terbatas. Kemudian SDM dan mekanisme tidak dijalankan. “Satu tahun anggaran, dana untuk penyusunan perda yang dianggarkan hanya 200 juta,” katanya.
Padahal, kebutuhan yang harus dipenuhi cukup banyak. Mulai dari staf ahli, rencana rapat, perjalanan konsultasi, hingga sosilisasi ke media. Makanya, pada tahun anggaran 2011, Jailani mengaku mengajukan tambahan anggaran dalam ABT tahun ini. “Kalau dikatakan cukup, ya tidak cukup dengan berbagi keperluan seperi tadi,” ujarnya.
Selain itu, masalah SDM, menurut dia, juga sangat mempengaruhi. Apalagi di kabupaten dan kota. “Kalau di daerah, kadang ranperda itu hanya disusun Kabag Hukum. Padahal pekerjaan mereka bukan itu saja,” katanya.
Menurut Jailani, agar perda-perda yang diajukan tidak dianulir lagi, mulai tanggal 10 Maret ini akan dilakukan pembinaan dan bimbingan ke kabupaten kota. Sekarang ada 120 perda kabupaten/kota yang dievaluasi provinsi sebelum diajukan ke Kemendagri.(pia)
*jambi-independent.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)