Jambi tidak hanya masuk lima besar kota terkorup se-Indonesia (hasil Survei Transparency International Indonesia/TII November 2010), tapi juga masuk dalam deretan lima besar daerah yang peraturan daerah (perda)-nya paling banyak bermasalah. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sepanjang 2002-2009, tercatat sebanyak 94 perda dari Provinsi Jambi yang dibatalkan, karena dinilai bertentangan dengan perundang-undangan dan tidak sesuai dengan kepentingan publik.
Jumlah tersebut merupakan bagian dari 2.285 perda dari 33 provinsi di Indonesia yang dibatalkan Kemendagri melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri. Lima besar provinsi yang paling banyak perda-nya dibatalkan yaitu Sumatera Utara 180 perda, Jawa Timur 138 perda, Jawa Barat 115 perda, Sulawesi Selatan 97 perda, dan Jambi 94 perda.
Selebihnya 2.593 perda lainnya tidak bermasalah dan dapat diimplementasikan.
Dari 407 perda yang bermasalah tersebut, dari wilayah Jambi tercatat sebanyak 14 perda. Masih menurut data dari Kemendagri, dari 11 kabupaten/kota di Jambi, daerah yang paling banyak perda-nya dibatalkan adalah Kota Jambi, yakni 18 perda. Lalu disusul Batanghari 17 perda, Bungo 15 perda, Muarojambi sembilan perda dan Merangin delapan perda.
Selanjutnya, Tebo tujuh perda, Tanjab Barat tujuh perda, Pemprov Jambi tujuh perda, Kerinci empat perda, Sarolangun tiga perda, dan Tanjab Timur tiga perda. Sementara itu, jika dirinci sejak 2002 sampai 2010, jumlah perda yang paling banyak dibatalkan terjadi pada tahun 2009, yakni 46 perda. Rinciannya, 2002 empat perda, 2003 lima perda, 2005 tujuh perda, 2006 empat perda, 2007 10 perda, dan 2008 hanya satu perda.
Sementara itu, pada 2010 ada 14 perda bermasalah yang harus dicabut. Menurut Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Reydonnyzar Moenoek, sejatinya perda tersebut sudah dicabut, karena Kemendagri sudah merekomendasikan untuk mencabut perda-perda (bermasalah) tersebut.
“Rekomendasi pencabutan itu sudah dikeluarkan terhitung Oktober 2010. Berdasarkan aturan, pencabutan harus sudah dilakukan terhitung satu pekan sejak rekomendasi dikirimkan,” katanya.
Banyaknya perda yang bermasalah tersebut, menurut Reydonnyza, dikarenakan adanya salah penafsiran daerah karena merasa otonom. “Jadi terlalu kreatif,” katanya, kemarin (22/2).
Dia menjelaskan, pada awal reformasi, pemda berpedoman pada UU Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatakan, perda yang dibuat pemerintah cukup dilaporkan saja ke Kemendagri. Ini lah yang membuat banyak perda yang bermasalah. Tapi kini, undang-undang tersebut sudah diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mewajibkan perda dikonsultasikan dan dievaluasi oleh pemerintah tingkat atasnya.
Perda yang dibatalkan tersebut lebih banyak berkaitan dengan retribusi. Menurut Raydonnyzar, retribusi dan pajak daerah diatur dalam UU 28 Tahun 2009 yang berlaku efektif 1 Januari 2010. UU tersebut perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2000, dan UU Nomor 18 Tahun 1997. Kemudian, terdapat juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Kata dia, pajak adalah upaya paksa agar masyarakat membayar kewajibannya.
Kemudian retribusi, diberlakukan disertai dengan pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. “Tapi yang terjadi adalah pelayanan tidak ada, tapi pembebanan kepada masyarakat banyak. Pemda sering memberlakukan pajak dan retribusi tanpa pelayanan, hanya bertujuan untuk memperoleh pendapatan. Ini kan bertentangan dengan prinsip kepentingan umum,” terangnya.
Pemda juga dinilai tidak mengedepankan prinsip pelayanan jika masih memberlakukan retribusi pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan akta kelahiran. “Pembuatan administrasi kependudukan filosofinya adalah kewajiban pemerintah, sehingga harus gratis,” ujarnya.
Raydonnyzar melanjutkan, bahwa administrasi kependudukan yang harus digratiskan oleh pemda, mulai dari pembuatan KTP, KK, dan AK. Kalau pun bayar, jika masyarakat mengalami keterlambatan atau denda yang dinyatakan sebagai retribusi atas keterlambatan.
Dia juga mengungkapkan, saat ini Kemendagri masih mengkaji 2.678 perda. Kata dia, butuh kehati-hatian mengkaji perda untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Menurut Reydonnyzar, pembatalan perda tidak dilakukan semena-mena, tapi dilakukan dengan kajian matang dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan. “Jika ada pasal dalam perda tidak sesuai dengan pasal dalam undang-undang, tentu perda tersebut bermasalah,” tegasnya
Banyaknnya perda yang dibatalkan tersebut disesalkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Menurut dia, pembatalan perda bermasalah ini terjadi akibat ketidakcermatan pemda, sehingga negara mengalami kerugian triliunan rupiah. Padahal, kata dia, biaya pembuatan satu perda bisa lebih dari Rp 300 juta.
“Berapa besar kerugian negara karena pembuatan perda yang bermasalah ini. Itu yang memang kita sesalkan,” kata Patrialis, pekan lalu. Untuk menghindari kesalahan dalam pembuatan perda, Patrialis mengimbau pemda untuk memanfaatkan Pusat Hukum yang dibentuk Kemenkumham di kantor wilayah yang telah dibentuk sejak Mei 2010.
Syahbandar: Ini Akibat Ketidaktahuan Daerah
“Tahun 2010, tidak ada perda provinsi yang dibatalkan. Itu (yang banyak dibatalkan) adalah perda kabupaten/kota,” katanya, saat dikonfirmasi terkait Jambi masuk lima besar provinsi yang perda-nya banyak bermasalah, kemarin (22/2). Salah satu contoh, pada tahun 2002 lalu di Kabupaten Sarolangun, perda tentang retribusi hasil hutan dibatalkan. “Saat itu dibatalkan, saya menjabat sebagai Kabag Hukum Pemkab Sarolangun,” ujarnya.
Memang menurut data dari Kemendagri, pada tahun 2010, dari 14 perda yang bermasalah dan harus dicabut, tidak ada dari Pemprov Jambi. Namun, pada periode 2002-2009 tercatat tujuh perda produk pemprov yang dibatalkan Kemendagri. Rinciannya, pada tahun 2003 dua perda, 2007 empat perda, dan 2009 satu perda.
Jailani mengatakan, agar kajadian serupa tak terulang lagi, saat ini mereka (pemprov) terus memberitahu kabupaten kota agar membuat perda tidak bertentangan dengan UU yang ada. Selain itu, perda kabupaten/kota yang sudah disetujui juga wajib dikonsultasikan ke pemprov.
“Dalam hal ini, Biro Hukum melibatkan SKPD terkait dan pakar hukum dari Universitas Jambi akan melakukan pengkajian agar perda yang dibuat tidak dibatalkan pusat,” katanya. “Pada tahun 2010 pemprov menghasilkan sembilan perda. Bila ditambahkan dengan perda inisiatif dewan, maka seluruhnya ada 11 perda yang dihasilkan,” tambahnya.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPRD Provinsi Jambi Syahbandar, juga mengakui sudah mengetahui banyak perda dari Jambi yang dibatalkan Kemendagri. Menurut dia, perda-perda itu ditolak akibat euphoria otonomi daerah. “Perda-perda itu dibuat sejak adanya undang-undang otonomi daerah,” katanya.
Wakil ketua komisi yang membidangi hukum dan pemerintahan ini mengatakan, perda yang dibatalkan itu banyak berasal dari kabupaten/kota. Terutama yang berkaitan dengan pemungutan retribusi.
Kejadian ini, kata dia, merupakan akibat ketidaktahuan daerah bahwa peraturan yang dibuat tersebut bertentangan dengan peraturan yag lebih tinggi. Anggota DPRD dari fraksi hijau ini mencontohkan, dari daerah pemilihan (dapil)-nya, Batanghari, ada peraturan yang menyatakan proyek yang nilainya mencapai 500 juta menggunakan penunjukan langsung (PL). “Karena bertentangan dengan peraturan pusat, maka perda ini dibatalkan,” ujarnya.
Lalu, bagaimana tanggapan pemerintah kabupaten/kota? Sebagian daerah mengaku tidak tahu kalau Jambi masuk lima besar daerah yang perda-nya paling banyak bermasalah. Mereka beralasan belum mendapat laporan dari Pemprov Jambi.
Kepala Bagian Hukum Setda Tanjab Timur Ahmad Suwandi, misalnya. Saat dikonfirmasi kemarin, dia mengaku tidak tahu banyak perda dari Jambi (termasuk Tanjabtim) yang bermasalah dan dibatalkan Kemendagri.
“Mas dapat informasi dari mana, malah saya tahu informasi ini dari mas,” katanya. “Yang jelas kita belum dapat laporan resmi dari Jambi,” tambahnya.
Pada tahun 2010, menurut dia, Tanjabtim tidak satu pun membuat perda.
Ditambahkannya, tidak setiap tahunnya suatu daerah harus membuat peraturan daerah. Menurut dia, perda dibuat tergantung kebutuhan dan kepentingan daerah. “Jadi tidak setiap tahun kita membuat perda,” ujarnya. Memang menurut data Kemendagri, tahun 2010 tidak ada perda dari Tanjabtim yang dibatalkan. Tapi, pada periode 2002-2010 setidaknya ada tiga perda dari Tanjabtim yang dibatalkan. Yakni tahun 20016 dua perda dan tahun 2009 satu perda.
Kepala Bagian Hukum Muarojambi Erlina mengatakan, sejauh ini tidak ada Perda Muarojambi yang dibatalkan. Sebab, dalam mengajukan Perda Restribusi, pemda mengacu kepada UU no 28 Tahun 2009. Pernyataan Erlina ini bertolak belakang dengan data yang dikeluarkan Kemendagri. Berdasarkan data Kemendagri, dari 14 Perda Jambi hasil evaluasi tahun 2010, yang bermasalah dan harus segera dicabut, empat di antaranya berasal dari Muarojambi.
Keempat perda itu adalah Perda Kabupaten Muarojambi No. 4 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan. Lalu, Perda Kab. Muarojambi No. 4 Tahun 2005 tentang Pajak Hotel, Perda Kab. Muarojambi No. 05 Tahun 2009 tentang Pajak Hiburan, dan Perda Kab. Muarojambi No. 06 Tahun 2009 tentang Pajak Restoran. Dan, jika ditotal secara keseluruhan dari tahun 2002-2010 tercatat sembilan perda dari Muarojambi yang dibatalkan.
Terpisah, Bupati Kerinci H Murasman, juga tidak mau mengakui perda yang mereka ajukan ada yang bermasalah. Menurut dia, semua perda yang diajukan Pemkab Kerinci tidak ada masalah dan lolos semua. (pia/bud/fes)
*jambi-independent.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)