NASIONAL - Aksi-aksi RMS di Depan Mata Presiden SBY


Begitu besarnyakah kekuatan Republik Maluku Selatan (RMS) sehingga mampu 'menghadang' Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbang ke Belanda pada Selasa, 5 Oktober 2010?
Tetapi faktanya, Presiden SBY menunda memenuhi undangan Ratu Belanda Beatrix karena bertepatan dengan adanya sidang kilat untuk memproses tuntutan kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) di pengadilan di Den Haag, Belanda.

Ada dua tuntutan RMS. Tidak tanggung-tanggung, dalam tuntutannya Presiden RMS di pengasingan, John Wattilete meminta pengadilan menangkap SBY atas dugaan pelanggaran HAM.

Menurut Wattilete, "Saat ini ada 93 orang ditahan karena mendukung RMS. Amnesti Internasional dan Human Right Watch telah melaporkan kasus ini." RMS juga meminta Indonesia menghentikan penahanan dan dugaan penyiksaan para pendukung RMS di Indonesia.

Tuntutan kedua, RMS mempertanyakan lokasi makam salah satu pendiri RMS, Chris Soumokil. Soumokil, bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur itu tewas pada 1966 dalam eksekusi yang dilakukan pemerintah Indonesia.

Ini bukan kali pertama SBY menghadapi langsung aksi RMS. Aksi yang tak lupa dari ingatan pada saat peringatan Hari Keluarga Nasional ke-14 yang dihadiri langsung Presiden SBY di Lapangan Merdeka, Ambon, 29 Juni 2007.

Sekitar 35 orang penari bertelanjang dada, membawa parang dan tameng menarikan tarian tradisional Cakalele, yang merupakan salah satu tarian perang.

Aksi yang membuat keamanan 'ring satu' seperti kecolongan itu belum selesai. Mereka melanjutkan dengan membentangkan 'Benang Raja', bendera RMS yang berwarna merah, putih, biru, dan hijau.

Bentangan bendera dilakukan tepat di depan Presiden SBY. Aksi ini berlangsung setelah Gubernur Maluku saat itu, Albert Karel Ralahalu memberikan sambutan.

Lokasi penari itu tidak lebih 10 meter dari posisi duduk SBY. SBY pun berdiri dan berkata, "Jangan orang lain yang berbuat semua kena getahnya," kata SBY dengan air muka yang seperti menyimpan rasa marah.

Sebanyak 35 aktivis RMS ditahan karena melakukan tarian 'liar' di depan hidung SBY. Mereka mendapat ganjaran hukuman bervariasi. Ada yang diganjar 12 tahun ada pula 15 tahun bui. Aksi-aksi RMS setiap tahunnya selalu diwaspadai petugas keamanan.

Terutama saat memasuki perayaan ulang tahun kelahiran setiap 25 April. Petugas selalu mewaspadai kantung-kantung pengibaran bendera RMS di setiap daerah. Terutama di Desa Aboru, Pulau Haruku.

Hari kelahiran diambil dari diproklamasikannya RMS pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur yang saat itu masih Republik Indonesia Serikat.

Namun oleh pemerintah pusat saat itu, RMS dianggap sebagai separatis. Misi damai gagal. RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Para petinggi RMS satu persatu mengasingkan diri ke Belanda.

Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, bekas tentara KNIL dan keluarganya yang diperkirakan sekitar 12.500 orang juga mengungsi ke Belanda. Saat itu diyakini keberangkatan mereka hanya untuk sementara saja. RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan.

Pada 24 April 2008, Presiden RMS di Belanda, John Watilette, berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong. Pernyataan itu disampaikan dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS.

Pernyataan Wattilete dimuat pada harian Algemeen Dagblad. Dia menegaskan, tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS. Apalagi ditambah tidak adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya, pasokan dana mulai seret. Wattilete saat itu mengatakan tidak menutup kemungkinan Maluku akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh, kendati tetap menekankan tujuan utama mereka adalah meraih kemerdekaan penuh.

Aksi RMS juga dituding berada di balik kerusuhan Ambon antara 1999-2004. RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS ditangkap dan diadili. Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya.

Eksisnya keberadaan RMS di negeri Belanda menjadi pertanyaan besar. Bahkan, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyarankan sebaiknya Presiden mempertimbangkan pembatalan, bukan sekadar penundaan keberangkatan ke Belanda.
Anas mensinyalir ada peran Belanda di balik eksistensinya RMS hingga saat ini. 

"Eksistensi RMS di Belanda sampai sekarang ini mengesankan "dipelihara" atau setidaknya diberi angin oleh pihak Belanda," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum kepada VIVAnews.com, Selasa 5 Oktober 2010.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Priyo menyarankan adanya diplomasi tingkat tinggi untuk mengklarifikasi peristiwa yang sebenarnya terjadi di Den Haag.

Menurut Priyo Budi, diplomasi tingkat tinggi diperlukan untuk mengklarifikasi semua rangkaian peristiwa ini. Karena, peristiwa ini bisa mengancam sendi-sendi hubungan kedua negara.
 
Priyo mengecam segelintir orang di Belanda yang mengajukan gugatan untuk menangkap Presiden RI. "Saya sangat menyesalkan tindakan tidak tahu diri sekelompok orang Belanda yang masih mengumbar sikap sebagai tuan besar menghadapi kita sebagai rakyat Indonesia," kritik politisi Golkar ini.

*Sumber:www.vivanews.com

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)