Kendati sudah 65 tahun merdeka, Indonesia merasa berkepentingan untuk mendapat pengakuan tertulis dari Belanda. Penerimaan dari Belanda itu akan tercantum dalam Perjanjian Kemitraan Komprehensif yang akan diresmikan kedua pemerintah di tengah lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, 5-7 Oktober 2010.
Demikian ungkap juru bicara Kementrian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, dalam wawancara dengan Radio Nederland siaran Indonesia, yang disiarkan Senin 4 Oktober 2010. Menurut Faizasyah pengakuan tertulis ini tidak hanya penting bagi Indonesia, namun juga bagi Belanda.
"Ini penting bagi kedua negara, karena bagi Indonesia dan Belanda tidak ada lagi keragu-raguan atas sisi sejarah kedua negara. Dalam melihat masa lalu, kita bisa berangkat dari starting point yang sama," kata Faizasyah, yang juga merangkap sebagai juru bicara kepresidenan untuk urusan luar negeri.
Menurut dia, memang secara de facto sudah ada pengakuan dari Belanda dengan hadirnya Menteri Luar Negeri saat itu, Bernard Bot, pada peringatan 17 Agustus di Jakarta lima tahun lalu. "Namun dalam konteks tertulis, dokumen [kemitraan komprehensif] ini bisa merepresentasikan adanya pengakuan bahwa penerimaan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dapat diterima secara moral dan politik oleh pihak Belanda," kata Faizasyah.
Dengan pengakuan baik secara de facto maupun secara tertulis, maka tidak akan ada lagi distorsi sejarah maupun keragu-raguan dari kedua belah pihak. "Kita bisa menatap hubungan ke depan tanpa perlu direcoki oleh perbedaan persepsi di masa lalu," kata Faizasyah.
Sebelumnya, kepada Radio Netherland pihak Kementrian Luar Negeri Belanda menegaskan bahwa pemerintahnya sudah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, sehingga mereka tidak bisa mengakui dua kali.
Namun, menurut Faizasyah, dokumen nanti sifatnya lebih menerima suatu realitas sejarah bahwa Indonesia pada tahun 1945 memproklamasikan kemerdekaan. Maka ada baiknya bila penerimaan itu dikonkritkan melalui "hitam di atas putih" sehingga tidak ada keraguan lagi dari kedua pihak bahwa hal-hal yang masih menjadi ganjalan bagi hubungan kedua pihak sudah bisa diselesaikan secara bermartabat.
Dia menilai masih banyak pelaku sejarah dari kedua negara yang memiliki persepsi masing-masing atas kemerdekaan Indonesia dan bagaimana sudut pandang Belanda atas kemerdekaan itu.
Demikian ungkap juru bicara Kementrian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, dalam wawancara dengan Radio Nederland siaran Indonesia, yang disiarkan Senin 4 Oktober 2010. Menurut Faizasyah pengakuan tertulis ini tidak hanya penting bagi Indonesia, namun juga bagi Belanda.
"Ini penting bagi kedua negara, karena bagi Indonesia dan Belanda tidak ada lagi keragu-raguan atas sisi sejarah kedua negara. Dalam melihat masa lalu, kita bisa berangkat dari starting point yang sama," kata Faizasyah, yang juga merangkap sebagai juru bicara kepresidenan untuk urusan luar negeri.
Menurut dia, memang secara de facto sudah ada pengakuan dari Belanda dengan hadirnya Menteri Luar Negeri saat itu, Bernard Bot, pada peringatan 17 Agustus di Jakarta lima tahun lalu. "Namun dalam konteks tertulis, dokumen [kemitraan komprehensif] ini bisa merepresentasikan adanya pengakuan bahwa penerimaan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dapat diterima secara moral dan politik oleh pihak Belanda," kata Faizasyah.
Dengan pengakuan baik secara de facto maupun secara tertulis, maka tidak akan ada lagi distorsi sejarah maupun keragu-raguan dari kedua belah pihak. "Kita bisa menatap hubungan ke depan tanpa perlu direcoki oleh perbedaan persepsi di masa lalu," kata Faizasyah.
Sebelumnya, kepada Radio Netherland pihak Kementrian Luar Negeri Belanda menegaskan bahwa pemerintahnya sudah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, sehingga mereka tidak bisa mengakui dua kali.
Namun, menurut Faizasyah, dokumen nanti sifatnya lebih menerima suatu realitas sejarah bahwa Indonesia pada tahun 1945 memproklamasikan kemerdekaan. Maka ada baiknya bila penerimaan itu dikonkritkan melalui "hitam di atas putih" sehingga tidak ada keraguan lagi dari kedua pihak bahwa hal-hal yang masih menjadi ganjalan bagi hubungan kedua pihak sudah bisa diselesaikan secara bermartabat.
Dia menilai masih banyak pelaku sejarah dari kedua negara yang memiliki persepsi masing-masing atas kemerdekaan Indonesia dan bagaimana sudut pandang Belanda atas kemerdekaan itu.
*Sumber:www.vivanews.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)