Adanya surat dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang mengembalikan SMA 1 dan SMA 3 Kota Jambi ke Pemprov Jambi, karena belum bisa memenuhi standar kelayakan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), direspon Gubernur Jambi, H Hasan Basri Agus (HBA) dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke dua sekolah itu, Jum’at (17/9).
Ditetapkannya SMA 1 dan SMA 3 sebagai RSBI seharusnya bisa membawa kebanggaan bagi masyarakat Jambi. Namun hal itu belum bisa terealisasi karena keduanya tidak memenuhi standar kelayakan RSBI. Hal yang menambah coreng muka bagi Jambi adalah dua dari lima RSBI se-Indonesia yang gagal memenuhi standar RSBI merupakan sekolah yang ada di Kota Jambi.
Dalam sidaknya gubernur menanyakan penyebab SMA 1 dan SMA 3 tidak memenuhi standar kelayakan RSBI langsung pada kepala sekolahnya.
Kepala Sekolah SMA 1, Adi Triyono MPd, mengatakan, penerapan RSBI pada SMA 1 dan SMA 3 ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Setelah empat tahun angaran (2006, 2007, 2008, dan 2009), RSBI tersebut dievaluasi langsung oleh diknas pusat, tepatnya November 2009. Dari 200 indikator dalam penilaian RSBI, seharusnya kumulatif poin 1.000, atau minimal 850, sementara SMA 1 hanya mendapat 738. SMA 3 mendapat skor atau poin dibawah SMA 1, 600-an.
Adi Triyono membeberkan berbagai hal yang tidak memenuhi kelayakan RSBI bagi SMA 1 Jambi. Diantaranya, persyaratan minimal 30% gurunya harus S2 belum dipenuhi, belum menerapkan ISO, belum menerapkan PAS (Paket Aplikasi Sekolah), yang mana semua dokumen sekolah harus berbasis IT (Information Technology). Server IT SMA 1 baru dibeli tahun 2009.
Selain itu SMA 1 belum menjalankan program sister school. Dalam program ini untuk dalam negeri, SMA 1 Jambi mengadakan MoU dengan SMA 1 Yogyakarta. Sementara untuk luar negeri belum ada, masih dalam tahap penjajakan ke Thailand.
Luas lahan sekolah minimal 1 Hektar (Ha), sedangkan luas lahan SMA 1 hanya 75 tumbuk (3/4 Ha). Kelengkapan IT di ruang kelas belum mencukupi, namun tahun ini sudah ada kemajan dimana enam kelas di kelas 1 sudah ada laboratorium bahasanya, dengan total dana Rp 75 juta. Meskipun demikian, untuk pembenahan laboratorium bahasa bagi kelas 2 dan 3 masih harus dicari dananya, dengan estimasi biaya sekitar Rp 175 juta.
Sanitasi yang belum memadai, menurut standar RSBI, idealnya 1 WC diperuntukkan bagi 20 orang siswa. SMA 1 hanya memiliki 8 WC dan masih kurang 20 WC lagi. Hall serbaguna sekolah yang belum selesai, yang mana pada waktu penilaian, hall sedang dalam proses pengerjaan atau pembangunan yang membuat lingkungan hall dan sekelilingnya tidak bersih, hal yang menambah kelemahan SMA 1.
Ditambahkan oleh kepala sekolah SMA 1 Kota Jambi ini, bahwa dalam MoU RSBI ini, ada pembagian partisipasi dalam hal pendanaan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, namun kenyataannya sejak tahun 2006, tidak ada dukungan/support dana dari provinsi, dari kota ada dalam bentuk fisik, yaitu kursi.
Pejabat Kepala Sekolah SMA 3 Kota Jambi, Yuzirwan M Noor SPd MPd memaparkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi SMA 3. Sampai dengan penilaian tahun 2009, SMA 3 belum mendapatkan ISO, namun sekarang sudah ada. Akreditasi sekolah sudah kadaluarsa, namun sekarang sudah diperbaharui. WC belum cukup, yang ada hanya 7 dan kurang 19 WC lagi. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi belajar mengajar belum maksimal, tetapi sekarang sudah diperbaiki melalui pelatihan-pelatihan.
Pejabat Kepala Sekolah SMA 3 Kota Jambi, Yuzirwan M Noor SPd MPd memaparkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi SMA 3. Sampai dengan penilaian tahun 2009, SMA 3 belum mendapatkan ISO, namun sekarang sudah ada. Akreditasi sekolah sudah kadaluarsa, namun sekarang sudah diperbaharui. WC belum cukup, yang ada hanya 7 dan kurang 19 WC lagi. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi belajar mengajar belum maksimal, tetapi sekarang sudah diperbaiki melalui pelatihan-pelatihan.
Standar RSBI yang mengharuskan minimal 30% guru sudah S2, sementara guru SMA 3 baru 5 orang yang sudah S2, dan masih kekurangan 17 orang lagi. Sister school belum terealisasi. Pihak sekolah sudah mengusahakan sister school, namun berhadapan dengan kendala bahwa untuk mengurus terselenggaranya sister school tersebut tidak cukup hanya sebatas instansi, harus pada tataran G to G (government to Government).
Luas lahan sekolah yang tidak sampai 1 Ha, cuma 70 tumbuk (70 % dari 1 Ha). Yuzirwan dan guru SMA 3 merencanakan, untuk memenuhinya akan membangun gedung sekolah bertingkat. Dia juga menunjukkan sketsa gedung sekolah SMA 3 yang direncanakan, yang mana untuk merealisasikannya butuh dana Rp 14 miliar.
Selain itu, Yuzirwan mengatakan bahwa dalam standar RSBI harus ada moving class. Sarana laboratorium bahasa (satu ruang) dengan 40 unit komputer yang tidak bisa digunakan lagi karena komputernya sudah rusak. Belum adanya ruang serbaguna, sekolah yang memiliki 553 siswa dengan 18 kelas ini belum memiliki gedung serbaguna sekolah. Belum memiliki ruang multi media.
Kepada gubernur, Yuzirwan dan guru lainnya merencanakan pengadaan 20 unit komputer sebagai sarana ruang multi media dengan perkiraan biaya Rp 150 juta.
Usai mendengarkan penjelasan dari Yuzirwan dan beberapa orang guru SMA 3, gubernur menyempatkan diri menemui salah satu kelas di SMA 3, yakni class X4. Saat ditemui gubernur dan rombongan, siswa-siswi sedang belajar bidang studi Biologi yang diajarkan oleh Elita.
Selanjutnya, gubernur melihat ruang laboratorium bahasa yang komputer-komputernya sudah rusak, padahal komputer tersebut baru didatangkan Dinas Pendidikan Provinsi Jambi tahun 2008, hanya bisa digunakan selama setahun.
Gubernur menerima seluruh permasalahan yang dituturkan kepala sekolah SMA 1 dan SMA 3 serta para guru tersebut untuk kemudian dicarikan solusinya. Gubernur menyatakan bahwa dua sekolah ini dipercayakan menjadi RSBI mulai tahun 2006, setelah empat tahun dikembalikan ke provinsi untuk dikaji ulang karena tidak memenuhi standar RSBI. Hal itu sangat memalukan.
Dari lima RSBI yang gagal se-Indonesia, dua dari Jambi, SMA 1 dan SMA 3, satu-satunya yang lulus adalah SMA Yayasan Titian Teras, itu pun bukan sekolah negeri. “Oleh sebab itu, saya datang ke sekolah ini untuk melihat apa masalahnya. Ada beberapa indikator yang tidak terpenuhi, mulai dari luasan lokasi. Yang paling mendasar adalah guru-gurunya minimal 30% S2, termasuk juga laboratorium bahasa, ISO, kerjasama antara sekolah atau sister school. Ada juga hal-hal kecil, seperti WC. Dan itu semua, insya Allah, tahun 2011 akan kita penuhi, saya lihat anggarannya tidak terlalu besar, mudah-mudahan terpenuhi,” ujar gubernur.
Gubernur sangat kecewa dengan permasalahan ini, karena dalam MoU RSBI dikatakan bahwa anggaran dari provinsi 30%, dari kota 30%, dan dari pusat 40%, sementara dari provinsi tidak ada selama empat tahun. Meskipun demikian, gubernur mengemukakan bahwa permasalahan ini akan dikaji lebih dalam lagi untuk kemudian segera dibenahi, serta diusahakan dananya dianggarkan untuk tahun anggaran 2011.
Dari sidak itu tercermin bahwa Dinas Pendidikan Provinsi Jambi tidak mampu menelurkan RSBI, terutama dengan tidak adanya partisipasi dana Dinas Pendidikan Provinsi Jambi selama empat tahun, padahal dana merupakan faktor yang sangat penting guna menunjang pembehahan sekolah RSBI agar memenuhi standar RSBI.
Dalam sidak tersebut, gubernur didampingi oleh Henri Masyur (dari Komisi IV DPRD Provinsi Jambi), beberapa orang pegawai Pemerintah Provinsi Jambi, dan para wartawan media cetak dan elektronik.
*Sumber:www.infojambi.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)