Indonesia adalah pasar yang menggiurkan bagi banyak produk. Dengan total penduduk hingga 250juta, negeri ini menjanjikan pangsa pasar potensial bagi sejumlah perusahaan raksasa dunia. Tidak heran jika produsen dunia dari berbagai sektor berduyun-duyun memasarkan produknya di Indonesia.
Tak terkecuali produsen BlackBerry, telepon pintar asal Kanada. Research in Motion (RIM), pembuat perangkat telepon genggam BlackBerry, sudah lama tergiur dengan ceruk pasar telekomunikasi yang menganga di Indonesia. Dengan lesatan ekspansi pasarnya, RIM memetik untung gede selama bertahun-tahun.
Saat ini, jumlah BlackBerry yang beredar di Tanah Air menembus angka 5 juta unit lebih. Jumlah itu tercatat di tiga operator telekomunikasi terbesar di Indonesia, yakni Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo. Belum termasuk operator lain seperti Axis, 3, AHA dan lain-lain. Tahun ini RIM menargetkan penjualan 4 juta unit dengan harga rata-rata US$ 300 per unit.
Secara global, RIM berhasil menjual BlackBerry hingga mencapai 52,3 juta unit di seluruh dunia. Dengan capaian itu, sepanjang tahun fiskal sampai dengan Februari lalu, RIM melaporkan lesatan pendapatan hingga 33 persen, yalni dari US$15 miliar atau setara Rp130 triliun, menjadi US$19,9 miliar atau Rp173 triliun.
Nah, jika dibandingkan dengan di Malaysia, pasar BlackBerry di Indonesia jauh lebih gemuk. Di Negeri Jiran itu, RIM hanya mampu menjual tak lebih dari 400 ribu unit. "Cuma sepersepuluh Indonesia," kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan.
Ceruk pasar yang sangat besar di Indonesia jelas telah memberikan keuntungan besar bagi perusahaan asal Kanada itu. Tapi, tiba-tiba RIM mengumumkan bakal menggolontorkan investasi untuk membangun pabrik BlackBerry di Malaysia. langkah serupa dilakukan produsen peralatan rumah tangga asal Jerman, Bosch, yang memilih membangun pabrik panel solar di negeri jiran. Padahal keduanya banyak mengeruk untung dari pasar Indonesia. Sama seperti BlackBerry, berbagai produk Bosch lebih banyak menjual produknya di Indonesia ketimbang di Malaysia.
Keputusan RIM dan Bosch itu, kontan saja membuat geram para petinggi negara di Jakarta. Tak kurang, Gita Wiryawan mengaku heran dengan sikap RIM. "Menapa membangun pabrik di Malaysia?" katanya kepada wartawan di kantor BKPM, Jakarta, Rabu (7/9/2011) kemarin. Menurut Gita, Pemerintah langsung mengambil sikap terhadap sejumlah perusahaan asing yang selama ini dianggap hanya peduli meraup untung di Indonesia.
Salah satu upaya yang tengah dikaji pemerintah adalah memberikan disinsentif kepada mereka. Kini, Pemerintah sedang mendata produk-produk yang dikonsumsi rakyat Indonesia dengan skala besar, namun tidak diproduksi di Indonesia. "Tidak ada alasan mereka tidak produksi di Indonesia," tegas Gita.
Dalam kasus RIM, Menteri Perindustrian MS Hidayat langsung bereaksi. Ia mengusulkan agar produk BlackBerry dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tambahan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Menurut Hidayat, penerapan opsi kebijakan disintensif perlu diterapkan bagi perusahaan yang hanya memanfaatkan Indonesia sebagai pasar saja.
Sebaliknya, insentif berupa keringanan pajak (tax allowance) layak diberikan untuk perusahaan yang mau membangun industrinya di Indonesia. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menarik lebih banyak perusahaan asing yang menanamkan modal di Indonesia. Terutama mereka yang produknya menyasar pasar tanah air. Jangan sampai mereka memilih negeri tetangga untuk membangun rumah, tetapi 'buang hajat' di Indonesia.
Namun tak mudah menerapkan barier tarif. Pasalnya, Indonesia telah terdaftar sebagai negara yang mengadopsi Free Trade Area (FTA). Selain itu, Indonesia kadung meneken perjanjian Economic Asean Integrity (EAI). Negara-negara penanda tangan EIA tidak boleh melakukan penghambatan dalam proses perdagangan.
Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengungkap, untuk mengantisipasi hal itu, Pemerintah akan memikirkan strategi yang jitu. "Kita memang tidak bisa sembarangan menetapkan tarif barrier, tetapi kita punya cara-cara lain yang lebih cerdas," tuturnya.
Kepentingan nasional memang harus dijaga, tanpa menentang aturan globalisasi. Pemerintah harus segera mencari format yang pas. (HP)
*gatra.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)