Masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, menolak rencana Pemerintah Provinsi Jambi mengalihfungsikan hutan. Rencana tersebut diduga sebagai upaya legalisasi aktivitas perambahan liar dan dikhawatirkan bakal meningkatkan konflik horisontal dalam kawasan. "Potensi konflik sudah sangat tinggi. Kalau alih fungsi dilakukan tanpa terlebih dahulu ada penyelesaian konflik, malah akan menambah persoalan," ujar Dedi Ridwan, Kepala Desa Pandan Sejahtera, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, di Gedung DPRD Provinsi Jambi, Senin (28/2/11).
Dedi menceritakan, pada kawasan hutan produksi yang diusulkan pemprov ke Kementrian Kehutanan untuk beralih fungsi menjadi area penggunaan lain seluas 500 hektar, Pemerintah Kabupaten Tanjabtim ternyata pernah mengeluarkan izin pembukaan perkebunan sawit untuk salah satu perusahaan di tahun 2007.
Di kawasan itulah, aktivitas pembukaan lahan untuk tanaman sawit jadi semakin marak. Ratusan masyarakat pendatang dimobilisasi untuk merambah hutan untuk penanaman sawit. Hal itu menimbulkan kecemburuan penduduk setempat. Jika hutan tersebut dialihfungsikan, jadi seperti upaya legalisasi perambahan. "Padahal, kami sebagai penduduk asli tidak merasakan dampaknya, namun hanya akan melihat hutan yang telah rusak di depan mata kami," lanjutnya.
Dedi melanjutkan, pemerintah perlu terlebih dahulu menyelesaikan persoalan konflik di sana dan menetapkan tata ruang untuk kawasan tersebut. Jadi, jangan asal diusulkan beralih fungsi, sebelum jelas rencana penataan ruangnya, tuturnya lagi.
Rivani Noor, Direktur Cappa, lembaga yang mengurusi advokasi masalah kehutanan, mengemukakan, banyak pemanfaatan kawasan hutan di Jambi tidak sesuai dengan peruntukannya. Pihaknya mendapati sejumlah izin tambang batu bara dalam kawasan hutan lindung dan produksi, yaitu 3 izin dalam kawasan lindung di Kabupaten Sarolangun dan Tebo, serta lebih dari 10 izin dalam kawasan hutan produksi. Tidak hanya tambang batu bara, perkebunan sawit juga marak dibangun dalam kawasan hutan, katanya.
Senin kemarin, sekelompok masyarakat yang mengaku warga suku anak dalam di Kabupaten Batanghari mendatangi Kantor Pemprov Jambi untuk menuntut pengelolaan lahan pada kawasan perkebunan sawit yang masuk konsesi PT Asiatic Persada, anak kelompok usaha Wilmar Group. Masyarakat menuntut 1.000 hektar diberikan bagi mereka, dengan alasan telah menggarap lahan tersebut sebelum perusahaan masuk pada hampir 15 tahun lalu .
Di Kabupaten Batanghari, sekitar 50 warga yang hidup di kawasan hutan Harapan Rainforest yang dikelola PT Restorasi Ekosistem (REKI) memanen padi seluas enam hektar dalam kawasan tersebut. Menurut Amran, warga setempat, mereka terpaksa menanami padi dalam kawasan hutan, karena tidak memiliki lahan sendiri. "Selama ini kami hidup dari berladang di sini sejak puluhan tahun. Kalau padi itu tidak kami panen, dari mana kami mau makan," tuturnya.
Tribun mencatat, ada 47 konflik perebutan lahan di Provinsi Jambi, yang hingga kini belum terselesaikan.
*tribunjambi.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)