KORUPSI dibenci seantero dunia karena kejahatannya luar biasa bagi kemanusiaan. Karena itu, dunia menetapkan 9 Desember, hari ini, sebagai Hari Antikorupsi. Dibutuhkan perang global karena korupsi amat menggiurkan sehingga banyak negara yang hanya mampu berperang di mulut, tetapi di hati tidak.
Tahun lalu, Hari Antikorupsi dirayakan dengan sangat kolosal dan sarat cemoohan dari khalayak di Jakarta. Yang menonjol adalah hadirnya seekor kerbau yang diberi nama penuh sindiran. Untuk kali ini, polisi melarang pelibatan binatang bukan karena takut disindir, melainkan lebih pada kerisauan terhadap keselamatan umum.
Bila kita jujur dan jernih melakukan resensi terhadap perang melawan korupsi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, haruslah dikatakan bahwa perang itu mandek. Mandek karena pedang yang dihunus tidak membabat dan sapu yang kotor masih dipakai untuk menyapu.
Coba simak sejumlah data kuantitatif ini. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia dalam 10 tahun terakhir tidak mampu menembus angka 3 dari kemungkinan terbaik 10. Untuk 2010, IPK Indonesia adalah 2,8, sama dengan angka 2009 yang naik dari 2,6 pada 2008.
Dengan IPK 2,8, Indonesia sejajar dengan Djibouti, Kepulauan Solomon, dan Togo di Afrika. Di ASEAN, Indonesia berada di peringkat keempat di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Angka yang amat rendah itu paralel dengan persepsi publik yang menilai sangat jelek lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia. Tiga lembaga penegak hukum--polisi, kejaksaan, dan pengadilan--masih dianggap khalayak sebagai badan-badan yang paling korup.
Korupsi menemukan kolaborasi sempurna di Indonesia karena publik pun memasukkan partai politik dan DPR sebagai lembaga yang paling korup.
Kolaborasi itulah yang mungkin paling betul untuk menjawab mengapa korupsi di Indonesia oleh sebagian orang dianggap semakin menggurita walaupun negara dengan lantang mencanangkan perang terhadapnya.
Hukum dan politik seakan membangun tembok berlapis untuk saling menyelamatkan. Kasus Gayus, kasus Anggodo, dan kasus kriminalisasi Bibit-Chandra adalah segelintir contoh tentang penyelamatan berlapis antara prosedur hukum dan kepentingan politik.
Ketika kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang sangat korup dibela mati-matian oleh kekuatan politik sebagai lembaga penegak hukum yang independen dan profesional, publik tidak percaya karena bertentangan dengan akal sehat. Mana mungkin penegakan hukum dipercayakan kepada lembaga yang korup?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan memimpin sendiri perang terhadap korupsi semakin lunglai. Sejumlah badan ad hoc dibentuk, seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Tetapi, satgas kini menjadi sasaran kecaman beberapa partai politik karena dianggap sebagai instrumen politik Presiden untuk mencelakakan partai yang lain.
Jadi, perang terhadap korupsi di Indonesia mandek karena hukum dan politik bersekutu untuk saling melindungi. Sayangnya SBY tidak cukup kuat dan berani untuk melawan itu semua. Pedang di tangan SBY lebih banyak tersimpan dalam sarung, tidak menerabas apa-apa.
Tahun lalu, Hari Antikorupsi dirayakan dengan sangat kolosal dan sarat cemoohan dari khalayak di Jakarta. Yang menonjol adalah hadirnya seekor kerbau yang diberi nama penuh sindiran. Untuk kali ini, polisi melarang pelibatan binatang bukan karena takut disindir, melainkan lebih pada kerisauan terhadap keselamatan umum.
Bila kita jujur dan jernih melakukan resensi terhadap perang melawan korupsi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, haruslah dikatakan bahwa perang itu mandek. Mandek karena pedang yang dihunus tidak membabat dan sapu yang kotor masih dipakai untuk menyapu.
Coba simak sejumlah data kuantitatif ini. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia dalam 10 tahun terakhir tidak mampu menembus angka 3 dari kemungkinan terbaik 10. Untuk 2010, IPK Indonesia adalah 2,8, sama dengan angka 2009 yang naik dari 2,6 pada 2008.
Dengan IPK 2,8, Indonesia sejajar dengan Djibouti, Kepulauan Solomon, dan Togo di Afrika. Di ASEAN, Indonesia berada di peringkat keempat di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Angka yang amat rendah itu paralel dengan persepsi publik yang menilai sangat jelek lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia. Tiga lembaga penegak hukum--polisi, kejaksaan, dan pengadilan--masih dianggap khalayak sebagai badan-badan yang paling korup.
Korupsi menemukan kolaborasi sempurna di Indonesia karena publik pun memasukkan partai politik dan DPR sebagai lembaga yang paling korup.
Kolaborasi itulah yang mungkin paling betul untuk menjawab mengapa korupsi di Indonesia oleh sebagian orang dianggap semakin menggurita walaupun negara dengan lantang mencanangkan perang terhadapnya.
Hukum dan politik seakan membangun tembok berlapis untuk saling menyelamatkan. Kasus Gayus, kasus Anggodo, dan kasus kriminalisasi Bibit-Chandra adalah segelintir contoh tentang penyelamatan berlapis antara prosedur hukum dan kepentingan politik.
Ketika kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang sangat korup dibela mati-matian oleh kekuatan politik sebagai lembaga penegak hukum yang independen dan profesional, publik tidak percaya karena bertentangan dengan akal sehat. Mana mungkin penegakan hukum dipercayakan kepada lembaga yang korup?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan memimpin sendiri perang terhadap korupsi semakin lunglai. Sejumlah badan ad hoc dibentuk, seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Tetapi, satgas kini menjadi sasaran kecaman beberapa partai politik karena dianggap sebagai instrumen politik Presiden untuk mencelakakan partai yang lain.
Jadi, perang terhadap korupsi di Indonesia mandek karena hukum dan politik bersekutu untuk saling melindungi. Sayangnya SBY tidak cukup kuat dan berani untuk melawan itu semua. Pedang di tangan SBY lebih banyak tersimpan dalam sarung, tidak menerabas apa-apa.
*mediaiindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)