Pemprov DKI Jakarta dinilai terlalu rakus dalam mengurusi berbagai permasalahan ibukota. Akibatnya, di bawah pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo, permasalahan banjir dan macet tak kunjung mampu diatasi. Capek deh...!
Sifat rakus itu tergambarkan pada ambisi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI ingin menjadikan Jakarta sebagai pusat kegiatan seperti ekonomi, pendidikan, hiburan, budaya. Akibatnya, fasilitas publik pun akhirnya diabaikan. Hal ini dikemukakan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri
“Sekarang perut Jakarta sudah meletus. Banjir dan kemacetan lantas menjadi langganan di ibukota. Tata ruang kota berantakan dan tidak terfokus menjadi daerah layaknya kota metropolis yang terbebas dari berbagai pesoalan,” sentilnya.
Menurut Faisal, untuk membenahi permasalahan pelik di ibukota ini, yang dibutuhkan bukan cuma seorang ahli. Melainkan juga komitmen dan konsistensi dari segala pihak yang akan menjadi solusi untuk penyelesaian masalah.
Dia memisalkan, distribusi ekonomi hiburan terpusat di kawasan Semanggi. Akibatnya, kawasan tersebut mengalami kemacetan dan polusi parah.
“Kita semua jadi capek. Untuk memahami kondisi seperti itu, tidak perlu seorang ahli. Orang tolol juga tahu Jakarta sudah sekarat,” tegas Faisal, menyindir Gubernur Fauzi Bowo yang mengklaim sebagai “ahlinya” mengurus Jakarta saat berkampanye.
Menurutnya, Pemprov DKI ingin menjadikan Jakarta sebagai pusat dari segala bidang, tetapi tidak melihat sisi lain dampak pembangunan tersebut. Faisal menilai, sifat rakus tersebut harus segera dicarikan solusi.
“Kalau tidak rakus, coba pemerintah Jakarta rangkul bupati-bupati daerah lain. Karyawan akan senang keluar Jakarta kalau diberi penghidupan di sana. Sekarang tinggal di Tangerang, kerja di Jakarta. Ongkos hidup jadi sangat mahal, orang minta UMP (Upah Minimum Provinsi) naik terus,” ungkapnya.
Faisal juga mengkritisi pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta yang tidak diimbangi penambahan volume jalan. Perencanaan yang tidak efektif terhadap fokus pembangunan transportasi, membuat kondisi jalan di Jakarta kian memprihatinkan.
“Bukannya merehabilitasi rel kereta api, tapi malah membangun busway dengan rute yang aneh. Busway harusnya dibangun dari jari-jari stasiun. Tak perlu pembebasan tanah, tapi kalau tak ada itu kan tak ada proyeknya, tak ada uang masuk,” sindirnya.
Untuk membenahi masalah pelik yang menjerat ibukota, dikatakan Faisal, tidak diperlukan ahlinya Jakarta. Justru komitmen dan konsistensi dari semua pihak agar menghasilkan solusi yang sederhana untuk menyelesaikannya.
Jakarta juga dia nilai tidak punya misi dan rencana masa depan. Semua kegiatan ekonomi terjadi di Jakarta dari kelas menengah ke bawah seperti pemotongan hewan dan transaksi sayuran hingga transaksi high end. Akibatnya, menurut Faisal, semua warga terpaksa menikmati macet dan banjir.
Solusi lain yang dia tawarkan adalah, pemerintah daerah mengalokasikan sejumlah uang ke daerah lain. Misalnya, menjadikan pusat industri di Tangerang atau Bekasi. Ini agar para pekerja banyak yang pindah saat pusat industri juga dipindahkan. “Karena yang diperlukan adalah restrukturisasi dan revitalisasi,” cetusnya.
Selain itu, pemerintah harus membenahi stasiun dan berbagai fasilitas umum dengan mengajak pihak pengembang. Layanan tersebut seharusnya menjadi produk komersial seperti di Jepang.
Kritikan senada juga diungkapkan politisi DPP Partai Demokrat Sulaiman Haikal. Dikatakannya, jumlah kendaraan di Jakarta sudah terlalu banyak. Motor misalnya, sudah lebih dari 6 juta. Lebih dari 500 ribu mobil juga beroperasi di Jabodetabek.
Karena itu, Haikal mengajukan beberapa cara penyelesaian persoalan banjir dan macet di Jakarta. Menurutnya, ibukota harus membuat penambahan jalan di kawasan rawan macet dan percepatan pembangunan jalan tol. Yang tak kalah pentingnya adalah pemerintah daerah harus membuat sistem kendaraan umum yang terpadu.
“Kita harus mengalokasikan busway, kereta dan angkutan umum dengan pengaturan tertentu, sehingga tidak berantakan seperti saat ini. Tidak hanya masyarakat yang harus memantuhi aturan itu, tetapi juga pejabat derah,” kata Haikal.
“Jangan sampai terjadi pembentukan ‘raja’ daerah yang meminta pengecualian. Kalau itu terjadi, bagaimana permasalahan di masyarakat itu terselesaikan, jika penentu kebijakan itu sendiri tidak merasakannya,” imbuh Haikal.
Menyangkut banjir, dia mengingatkan, Jakarta perlu dibuatkan daerah resapan dan banjir kanal lainnya. Caranya, koordinasikan setiap kebutuhan dengan lima pemerintah kota yang ada di Jakarta.
“Jakarta butuh sikap konsisten dari pemerintah. Kebijakan tata kota harus berubah, namun perlu disepakati dalam kurun waktu yang lama, 25 tahun misalnya. Jangan sampai, beda pejabat pemerintah, kemudian beda kebijakan pula. Terlalu banyak rencana, akhirnya minim aplikasi,” tandasnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Ery Basworo mengakui, sikap tegas pemerintah daerah menjadi pekerjaan rumah yang sulit. Hal mendasar misalnya, membuat penduduk tunduk aturan tanpa terkecuali, seperti tidak boleh ada satu pun orang parkir di bahu jalan.
“Saat ini, pemerintah daerah telah bekerja maksimal. Termasuk pembuatan kawasan hijau di berbagai tempat dan berencana memperlebar kawasan drainase,” ujar Ery.
Ery bahkan mengaku akan secara berkala melakukan pengerukan sungai. Namun dia menilai upaya itu tidak akan berhasil jika tabiat masyarakat ibukota tetap membuang sampah sembarangan. “Kami bahkan pernah menemukan pintu lemari es dalam tumpukan sampai di sungai,” ujarnya
Ke depan, kata Ery, pemerintah daerah akan membangun enam ruas jalan tol dan dua jalan layang bukan tol. Dua jalan layang ini dari ruas Casablanca ke Mas Mansyur dan jalur Mampang hingga Cipete.
Sifat rakus itu tergambarkan pada ambisi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI ingin menjadikan Jakarta sebagai pusat kegiatan seperti ekonomi, pendidikan, hiburan, budaya. Akibatnya, fasilitas publik pun akhirnya diabaikan. Hal ini dikemukakan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri
“Sekarang perut Jakarta sudah meletus. Banjir dan kemacetan lantas menjadi langganan di ibukota. Tata ruang kota berantakan dan tidak terfokus menjadi daerah layaknya kota metropolis yang terbebas dari berbagai pesoalan,” sentilnya.
Menurut Faisal, untuk membenahi permasalahan pelik di ibukota ini, yang dibutuhkan bukan cuma seorang ahli. Melainkan juga komitmen dan konsistensi dari segala pihak yang akan menjadi solusi untuk penyelesaian masalah.
Dia memisalkan, distribusi ekonomi hiburan terpusat di kawasan Semanggi. Akibatnya, kawasan tersebut mengalami kemacetan dan polusi parah.
“Kita semua jadi capek. Untuk memahami kondisi seperti itu, tidak perlu seorang ahli. Orang tolol juga tahu Jakarta sudah sekarat,” tegas Faisal, menyindir Gubernur Fauzi Bowo yang mengklaim sebagai “ahlinya” mengurus Jakarta saat berkampanye.
Menurutnya, Pemprov DKI ingin menjadikan Jakarta sebagai pusat dari segala bidang, tetapi tidak melihat sisi lain dampak pembangunan tersebut. Faisal menilai, sifat rakus tersebut harus segera dicarikan solusi.
“Kalau tidak rakus, coba pemerintah Jakarta rangkul bupati-bupati daerah lain. Karyawan akan senang keluar Jakarta kalau diberi penghidupan di sana. Sekarang tinggal di Tangerang, kerja di Jakarta. Ongkos hidup jadi sangat mahal, orang minta UMP (Upah Minimum Provinsi) naik terus,” ungkapnya.
Faisal juga mengkritisi pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta yang tidak diimbangi penambahan volume jalan. Perencanaan yang tidak efektif terhadap fokus pembangunan transportasi, membuat kondisi jalan di Jakarta kian memprihatinkan.
“Bukannya merehabilitasi rel kereta api, tapi malah membangun busway dengan rute yang aneh. Busway harusnya dibangun dari jari-jari stasiun. Tak perlu pembebasan tanah, tapi kalau tak ada itu kan tak ada proyeknya, tak ada uang masuk,” sindirnya.
Untuk membenahi masalah pelik yang menjerat ibukota, dikatakan Faisal, tidak diperlukan ahlinya Jakarta. Justru komitmen dan konsistensi dari semua pihak agar menghasilkan solusi yang sederhana untuk menyelesaikannya.
Jakarta juga dia nilai tidak punya misi dan rencana masa depan. Semua kegiatan ekonomi terjadi di Jakarta dari kelas menengah ke bawah seperti pemotongan hewan dan transaksi sayuran hingga transaksi high end. Akibatnya, menurut Faisal, semua warga terpaksa menikmati macet dan banjir.
Solusi lain yang dia tawarkan adalah, pemerintah daerah mengalokasikan sejumlah uang ke daerah lain. Misalnya, menjadikan pusat industri di Tangerang atau Bekasi. Ini agar para pekerja banyak yang pindah saat pusat industri juga dipindahkan. “Karena yang diperlukan adalah restrukturisasi dan revitalisasi,” cetusnya.
Selain itu, pemerintah harus membenahi stasiun dan berbagai fasilitas umum dengan mengajak pihak pengembang. Layanan tersebut seharusnya menjadi produk komersial seperti di Jepang.
Kritikan senada juga diungkapkan politisi DPP Partai Demokrat Sulaiman Haikal. Dikatakannya, jumlah kendaraan di Jakarta sudah terlalu banyak. Motor misalnya, sudah lebih dari 6 juta. Lebih dari 500 ribu mobil juga beroperasi di Jabodetabek.
Karena itu, Haikal mengajukan beberapa cara penyelesaian persoalan banjir dan macet di Jakarta. Menurutnya, ibukota harus membuat penambahan jalan di kawasan rawan macet dan percepatan pembangunan jalan tol. Yang tak kalah pentingnya adalah pemerintah daerah harus membuat sistem kendaraan umum yang terpadu.
“Kita harus mengalokasikan busway, kereta dan angkutan umum dengan pengaturan tertentu, sehingga tidak berantakan seperti saat ini. Tidak hanya masyarakat yang harus memantuhi aturan itu, tetapi juga pejabat derah,” kata Haikal.
“Jangan sampai terjadi pembentukan ‘raja’ daerah yang meminta pengecualian. Kalau itu terjadi, bagaimana permasalahan di masyarakat itu terselesaikan, jika penentu kebijakan itu sendiri tidak merasakannya,” imbuh Haikal.
Menyangkut banjir, dia mengingatkan, Jakarta perlu dibuatkan daerah resapan dan banjir kanal lainnya. Caranya, koordinasikan setiap kebutuhan dengan lima pemerintah kota yang ada di Jakarta.
“Jakarta butuh sikap konsisten dari pemerintah. Kebijakan tata kota harus berubah, namun perlu disepakati dalam kurun waktu yang lama, 25 tahun misalnya. Jangan sampai, beda pejabat pemerintah, kemudian beda kebijakan pula. Terlalu banyak rencana, akhirnya minim aplikasi,” tandasnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Ery Basworo mengakui, sikap tegas pemerintah daerah menjadi pekerjaan rumah yang sulit. Hal mendasar misalnya, membuat penduduk tunduk aturan tanpa terkecuali, seperti tidak boleh ada satu pun orang parkir di bahu jalan.
“Saat ini, pemerintah daerah telah bekerja maksimal. Termasuk pembuatan kawasan hijau di berbagai tempat dan berencana memperlebar kawasan drainase,” ujar Ery.
Ery bahkan mengaku akan secara berkala melakukan pengerukan sungai. Namun dia menilai upaya itu tidak akan berhasil jika tabiat masyarakat ibukota tetap membuang sampah sembarangan. “Kami bahkan pernah menemukan pintu lemari es dalam tumpukan sampai di sungai,” ujarnya
Ke depan, kata Ery, pemerintah daerah akan membangun enam ruas jalan tol dan dua jalan layang bukan tol. Dua jalan layang ini dari ruas Casablanca ke Mas Mansyur dan jalur Mampang hingga Cipete.
*Sumber:rakyatmerdeka.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)