NASIONAL - Jiwa Raga Anak Bangsa Untuk Pertahanan Negara Melalui Komponen Cadangan


DAPAT dikatakan lambat meski tidak terlambat, rencana pembentukan komponen cadangan di Indonesia nyata-nyata sudah lama didahului oleh negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan lain-lain. 

Dikatakan lambat karena secara fakta otentik Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah lama menganut system pertahanan semesta yang mengandalkan segala sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan serta kekayaan negara lainnya guna mendukung usaha pertahanan negara.

Terlebih lagi bahwa sejak duduk di bangku sekolah dasar setiap pejabat negara, kaum cendekiawan, elit politik serta seluruh Rakyat Indonesia sudah memahami hak dan kewajibannya dalam usaha pertahanan negara seperti yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 30(1). Dengan menyadari hal tersebut maka kita tidak lagi dapat mentolerir adanya pemikiran yang tidak sejalan dengan perintah konstitusi yang berlaku di NKRI.

Sebagai bahan perbandingan kita dapat melihat kebijakan pemerintah di beberapa negara seperti Singapura, Amerika Serikat, Israel dan Benelux (Belgia-Netherland-Luxemburg). Selanjutnya dapat pula kita cermati latar belakang serta situasi yang melandasi kabijakan wajib militer tersebut.

Sebut saja Singapura dengan populasi penduduk 5,08 juta jiwa berdiri di atas tanah negara 144.000 Km2, di masa damai pemerintah mewajibkan setiap warga negara mengikuti pelatihan dan dinas militer (wajib militer) selama 2 tahun, bagi setiap pemuda lulusan SMA (high school). Setelah menggenapi masa 2 tahun dengan nomor register (NRP) di lingkungan militer baru lah mereka boleh melanjutkan pendidikan di bangku kuliah atau pun berkarya di berbagai lapangan pekerjaan. Wajib militer diselenggarakan untuk mempersiapkan personel kombatan dalam rangka pertahanan negara.

Pada masa menghadapi Perang Vietnam 1957-1973 Amerika Serikat mengalami kekurangan prajurit militer, oleh sebab itu pada tahun 1965-1973 pemerintah merekrut sebanyak 1.728.344 pemuda dari berbagai perguruan tinggi untuk diikutsertakan dalam wajib militer, dengan masa dinas yang tidak menentu. Wajib militer diselenggarakan untuk mempersiapkan personel kombatan dalam rangka mendukung perang.

Kebijakan pemerintah Amerika Serikat tentang wajib militer dihapuskan sejak tahun 1973. Kebijakan penghentian wajib militer ini didorong oleh rasa pahit getir segenap rakyat Amerika yang mengalami kerugian korban sekitar 58.195 jiwa (menurut daftar nama di War Memorial, Washington DC).

Sebagai negara yang sering kali mengalami konflik dengan berbagai negara khususnya negara tetangga sendiri, Republik Israel setiap saat mengambil langkah antisipatif dalam strategi dan system pertahanan negaranya. Salah satu kebijakan pertahanan di negara yang merdeka pada tahun 1949 itu adalah wajib militer. Seluruh pemuda yang berusia 18 tahun diwajibkan mengikuti program wajib militer selama 3 tahun bagi pria dan 2 tahun bagi wanita.

Setelah menggenapi masa wajib militer para pemuda pemudi diijinkan untuk melanjutkan perkuliahan mau pun mencari pekerjaan. Jumlah wajib militer setiap tahun nya mencapai rata-rata 408.000 jiwa, lebih banyak daripada anggota militer tetap yaitu 168.000 jiwa. Hingga saat ini pasukan yang bertugas di daerah-daerah perbatasan didominasi oleh prajurit dari wajib militer.

Belgia, Netherland dan Luxemburg adalah 3 negara bertetangga yang telah mengikat diri satu sama lain melalui suatu kesepakatan kerja sama dalam pertahanan. Diawali dengan didirikannya ikatan Benelux custom union pada tahun 1944, ketiga negara tersebut selalu membahas, mengevaluasi dan merancang perekonomian serta anggaran negara yg juga meliputi anggaran bidang militer pertahanan.

Dengan ketatnya alokasi anggaran pertahanan yang disiapkan oleh masing-masing negara maka lahir lah kebijakan dalam lima tahun terakhir ini untuk mengurangi jumlah personel militer, dengan ketentuan bahwa ancaman terhadap salah satu negara akan dihadapi bersama oleh militer dari ketiga negara secara sinergis.Ketiga negara ini sama sekali tidak mengedepankan perkuatan personel militer melalui wajib militer terhadap warganya.

PENGARUH GEOGRAFIS
Wilayah NKRI adalah negara kepulauan (archipelago) dengan selat dan laut luas sebagai pengikat daratan. Posisi strategis di persilangan antara Benua Asia-Australia serta Samudera Indonesia-Pasifik memberikan potensi yang sangat menguntungkan bagi Indonesia. Setiap saat kita dapat mengelola, mengontrol dan mengendalikan lalu lintas laut di pintu-pintu gerbang wilayah kita seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Kalimantan, Laut Arafuru, Laut Pasifik. Kondisi geografis seperti ini dapat dikembangkan untuk menopang perekonomian Indonesia.

Banyak hal yang bisa kita siapkan untuk mendapatkan profit besar seperti pengelolaan kekayaan sumber laut, penyediaan dermaga-dermaga docking untuk kapal-kapal asing, jasa pelayaran antar pulau dan restribusi perlintasan selat.  Di sisi lain hal ini juga merupakan titik-titik rawan bagi perekonomian kita apabila dimanfaatkan oleh pihak musuh. Dengan menguasai jalur-jalur kelautan Indonesia secara perlahan pihak asing dapat mengendalikan, menghentikan atau bahkan menghancurkan perekonomian lintas laut kita.

Posisi pantai-pantai yang tersebar sedemikian luasnya merupakan jalan masuk bagi pihak asing yang datang ke Indonesia. Hal ini perlu mendapatkan perhatian tinggi terlebih lagi bila dihadapkan dengan kuantitas serta kualitas Alutsista laut dan udara kita yang kurang memadai, termasuk sistem radar pantai kita yang belum dapat mengcover seluruh wilayah pantai. Untuk itu diperlukan peran aktif masyarakat melalui sistem pertahanan yang solid agar dapat diambil langkah represif secara cepat dan optimal.

Pemberdayaan komponen cadangan pertahanan guna mendukung komponen utama pertahanan (TNI) mutlak diperlukan untuk dapat digelar di seluruh wilayah Indonesia dengan komposisi personel yang terencana sesuai kebutuhan tiap-tiap wilayah sehingga dapat mengoptimalkan penyiapan pangkal-pangkal perlawanan, penguasaan informasi wilayah serta pemantauan dinamika sosial dalam rangka mendukung sistem pertahanan negara. Setiap warga masyarakat harus menyadari bahwa perang di masa kini bukan hanya perang secara fisik dengan alat-peralatan militer, tetapi juga meliputi perang ekonomi dengan bentuk seperti upaya-upaya penyeludupan, perampokan hasil-hasil laut, penguasaan anti radar pantai, penguasaan informasi mutakhir, propaganda produk, isu-isu ekonomi menyesatkan serta politisasi bebas bea keluar-masuk.

Pemerintah sudah lama mencanangkan bahwa pembangunan yang dilaksanakan di daerah-daerah harus dirancang sedemikian rupa sehingga terpola di dalam pembangunan multi guna di mana pembangunan, khususnya pembangunan fisik, harus dapat berguna bagi kehidupan sosial masyarakat dan berguna juga bagi kepentingan pembangunan pangkal-pangkal perlawanan dalam rangka pertahanan negara. Pada kenyataannya pembangunan fisik yang dilaksanakan di daerah-daerah masih jauh dari yang diharapkan.

Pelaksanaan proyek-proyek pembangunan fisik tidak dikonsultasikan dengan pihak TNI mau pun Kesbangpollinmas secara sinergis sehingga kita dapat melihat contoh nyata berbagai gedung di daerah-daerah pantai tidak dapat digunakan sebagai perbentengan taktis di masa perang. Jalan-jalan penghubung dan jembatan-jembatan dengan kualitas buruk sangat riskan digunakan untuk menanggung beban kendaraan-kendaraan berlapis baja serta kendaraan besar lainnya. Jalan-jalan protokol yang dibangun dengan tingkat kekerasan sangat minim diragukan untuk dapat dilandasi pesawat-pesawat tempur mau pun pesawat angkut.

Kondisi geografis Indonesia sangat menguntungkan apabila dikelola dan diberdayakan dengan baik, akan tetapi akan menjadi sangat rawan bila mulai dihadapkan dengan perang ekonomi dan perdagangan. Sudah saatnya para ahli pertahanan, ahli ekonomi, ahli perdagangan, ahli pembangunan serta ahli lainnya untuk bersinergi merancang pembangunan ke depan dengan memandang aspek geografis NKRI.

KONFLIK MULTIDIMENSI
Trend invasi masa kini terus dilakukan oleh negara-negara kuat di seluruh dunia baik secara per negara mau pun berkelompok (multilateral). Sejak terjadinya krisis ekonomi global sebagai akibat dari runtuhnya pasar saham dunia, banyak negara di dunia berusaha mengambil langkah pemulihan ekonomi dengan upaya memfokuskan pandangan ke arah pencaplokan SDA negara-negara berkembang secara sistematis. Di belakang segala upaya tersebut selalu diikuti dengan alat peralatan perang yang turut diperhitungkan sebagai kekuatan tawar (bargaining power).

Berangkat dari trend tersebut di atas maka terjalin lah hubungan-hubungan kerjasama antara negara pengguna (user/donatur) dengan pihak-pihak ketiga yang menawarkan diri sebagai mediator maupun corong. Berbagai LSM, NGO dan actor non state lainnya menjadi semakin menjamur di seluruh dunia. Berbagai isu pun dihembuskan secara intensif dengan tujuan mendapatkan perhatian dunia internasional sehingga urusan dalam negeri suatu negara akan menjadi urusan banyak negara atau pun urusan internasional.

Berbagai isu yang sudah diluncurkan menjadi skenario besar bertaraf internasional contohnya antara lain isu senjata pemusnah missal, isu lingkungan hidup, isu terorisme, isu demokratisasi, isu pengembangan instalasi nuklir, isu hak asasi manusia dan lain sebagainya. Di balik ini semua tentunya ada tawaran-tawaran atau syarat-syarat diplomasi tertentu yang diajukan oleh suatu negara kepada negara lainnya. Dalam kondisi diplomasi gagal maka pihak negara kuat akan meluncurkan black campaign hingga kemudian secara bertahap mengangkatnya ke dunia internasional.

Semua negara kuat saling menjalin kerjasama dalam rangka menentukan arah sasaran menembus SDA negara-negara berkembang yang tentunya melalui berbagai langkah secara simultan dan bertahap. Negara-negara berkembang di seluruh dunia sudah mereka peta-petakan bagaikan kavling dengan kepemilikan yang sah. Kita dapat melihat contoh seperti penguasaan SDA Qatar oleh Perancis, Saudi Arabia oleh Amerika, Meksiko oleh Spanyol dan lain sebagainya. Sesama negara maju tidak akan saling mengganggu karena ikatan perjanjian antar negara yang divisualisasikan dengan peta-peta wilayah jajahan ekonomi.

Konflik multi dimensi di antara negara-negara di dunia berpangkal kepada dua substansi pokok yaitu bertahan dan menyerang. Ada negara-negara yang mempertahankan sumber daya yang merupakan asset negaranya demi pengelolaan ekonomi negara, ada pula negara-negara yang menyerang baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai cara demi memperkuat ekonomi negaranya. 

Substansi pokok seperti ini melahirkan suatu ambisi tertentu yang disamarkan dengan bahasa diplomatis menjadi “kepentingan” (interest), selanjutnya dilancarkan baik dalam hubungan antara pemerintah kepada pemerintah (G to G) mau pun antara kelompok negara multilateral dengan menekan suatu negara melalui kesepakatan kerjasama.

Dari penelusuran secara cermat terhadap berbagai nota kesepakatan kerja sama (MOU) yang pernah ada maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada persyaratan yang sebanding (equal) bagi kepentingan antar negara. Hal ini lah yang perlu menjadi kewaspadaan bagi segenap anak bangsa di mana kita tidak boleh lagi terlalu mudah menyetujui segala persyaratan yang diajukan dalam MOU karena akan berdampak kepada modal dasar bagi perjalanan bangsa dan negara ini hingga di masa mendatang.

Lain hal nya dengan kondisi diplomasi yang gagal, maka negara kuat akan melancarkan cara-cara lain yang sudah dipersiapkan untuk menyerang atau pun menghancurkan suatu negara. Dalam kondisi seperti ini lah kerap kali timbul saat-saat kritis yang merupakan potensi ancaman terhadap negara kita yang memiliki kondisi sosial masyarakat yang majemuk, wilayah yang begitu luas, tingkat pendidikan yang belum merata serta pemahaman politik yang sangat minim. Skenario tentang aksi teroris dapat dengan mudah dimainkan. Skenario tentang jaringan Islam radikal internasional dapat digelindingkan dengan lancar.

Skenario adu domba antar pemeluk agama dengan cepat dapat dikobarkan. Dengan demikian maka kita bisa melihat kenyataan bahwa situasi tawar-menawar, tekanan diplomasi serta ancaman terselubung selalu dihadirkan mendampingi setiap pembicaraan diplomatis. Dengan kemampuan menyadari situasi seperti ini maka kita sebagai anak bangsa harus segera mempersiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap kemungkinan terburuk. Penyiapan komponen cadangan dalam masyarakat Indonesia cukup ampuh untuk menjawab berbagai potensi ancaman tersebut.

SISTEM PERTAHANAN NEGARA
Setelah mengalami perjalanan bangsa yang cukup panjang NKRI mengakomodir suatu system pertahanan yang paling cocok bagi seluruh rakyat dan wilayah Indonesia yaitu Sistem pertahanan Negara. Sistem ini dulu disebut Sitem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), berubah menjadi Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) dan kini menjadi Sistem Pertahanan Negara (Sishaneg).

Inti dari sistem pertahanan ini yaitu pemberdayaan segenap sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan, kekuatan ekonomi dan kekayaan negara lainnya yang digunakan secara totalitas dan terpadu dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI serta menjaga keselamatan segenap Bangsa Indonesia.

Hak dan kewajiban tetap berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Acap kali saudara-saudara kita keliru menterjemahkan hak dan kewajiban ini di mana kata hak sering menjadi pertanyaan pertama yaitu dengan kalimat “apa saja kah hak-hak yang bisa diberikan oleh negara (kontribusi langsung) bila kita ikut serta dalam usaha pertahanan negara”. Padahal kita sebagai warga negara yang baik seyogyanya berpikir antisipatif terhadap kemungkinan-kemungkinan ancaman berupa invasi, agresi, terorisme, sabotase, mau pun infiltrasi dari negara lain. 

Hak konstitusi yang dimiliki oleh setiap warga negara yaitu di mana kita mempunyai hak yang sama untuk mempersiapkan langkah menangkis serangan, hak yang sama untuk melakukan perlawanan, serta hak yang sama untuk mempertahankan wilayah NKRI.

Di sisi lain UUD 1945 juga sudah mengatur bahwa setiap warga negara diwajibkan untuk mempertahankan negaranya. Di sini lah dapat kita renungkan makna dari kalimat “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan untuk negara” – John Fitzgerald Kennedy.

Draft RUU Komponen Cadangan telah diluncurkan menjadi konsumsi publik yang dalam waktu singkat telah banyak menuai opini pro dan kontra. Dari berbagai pendapat di lingkungan masyarakat dapat kita nilai sejauh mana respon positif masyarakat terhadap pertahanan negaranya, tetapi dapat pula kita amati sejauh mana tuntutan hak masyarakat yang berangkat dari kekurangpahaman akan pentingnya pertahanan negara.

Pemikiran-pemikiran negatif tentu saja menjadi sangat mungkin beredar karena selama sekitar 10 tahun belakangan ini sudah tidak ada lagi pendidikan/penataran yang intensif terhadap masyarakat tentang pertahanan negara. Perihal pertahanan dan ketahanan negara dulu diajarkan kepada masyarakat luas melalui media pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), Penataran P-4, mata kuliah kewiraan, penyuluhan Babinsa dan lain sebagainya.

Kini Departemen Pertahanan menyandang beban tugas yang cukup berat untuk secara kontinyu mengkampanyekan kesadaran bela negara bagi seluruh Rakyat Indonesia secara. Ini bukan lah hal yang mudah tetapi pasti bisa dengan ketekunan dan semangat diiringi dengan sistematika yang tepat guna sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat hingga ke pelosok-pelosok pedesaan.

ARAH STRATEGI
Tuntutan pembentukan komponen cadangan adalah tuntutan segenap Bangsa Indonesia. Telah berulang kali fakta menggambarkan kekuatan jiwa patriotisme Bangsa Indonesia dalam mempertahankan negaranya. Berbagai konflik dengan negara tetangga Malaysia telah membangkitkan emosi rakyat, beragam konflik di perbatasan perairan Indonesia-Australia telah menggugah semangat rakyat, Konflik batas laut dengan negara tetangga Singapura juga telah mengundang perhatian rakyat.

Semua ini telah melahirkan suara rakyat yang bulat untuk mendarmabaktikan diri bersama-sama dengan TNI mempertahankan kedaulatan NKRI. Suara hati nurani dari anak bangsa seperti ini perlu diakomodasikan ke dalam suatu wadah ”komponen cadangan pertahanan” di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan RI.

Dengan melihat bahwa doktrin Pertahanan RI adalah ”bertahan” dan bukan ”menyerang”, maka peran komponen cadangan nantinya akan menjadi sangat bermanfaat bagi pertahanan negara terlebih bila dikaitkan dengan perang berlarut dan strategi gerilya yang kita miliki di mana rakyat sama-sama berjuang dengan TNI, melakukan perlawanan dalam kantong-kantong gerilya di seluruh wilayah NKRI. Hingga kini taktik gerilya masih diyakini di dalam hati Bangsa Indonesia sebagai taktis yang ampuh dan paling cocok dalam usaha pembelan negara.

Keyakinan seperti ini membawa ingatan kita ke tahun 1953 di mana Jenderal Besar AH.Nasution membuat buku berjudul ”Pokok-pokok Gerilya” yang merupakan intisari dari perjalanan pertempuran Pangeran Diponegoro, Panglima Besar Jenderal Sudirman dan para pejuang lainnya semasa perang kemerdekaan. Selanjutnya pada tahun 1957 Ho Chi Minh, Pemimpin Perjuangan Pembebasan Nasional Vietnam, mengadopsi strategi gerilya dari Indonesia dalam rangka persiapan Perang Vietnam menghadapi Amerika.

Dengan melihat luasnya wilayah Indonesia maka Kementerian Pertahanan bekerjasama dengan TNI seyogyanya mempersiapkan rekrutmen personel untuk menjadi komponen cadangan pertahanan negara yang dipersiapkan untuk membangun pangkal-pangkal perlawanan di seluruh wilayah Indonesia. Di masa kini kita semua harus bisa meningkatkan kualitas personel yang terpilih dari sumber daya manusia/SDM (human resources) menjadi sumber daya modal (capital resources).

Manusia-manusia yang terpilih bukan hanya dijadikan sebagai alat atau robot, melainkan menjadi asset bernilai atau modal utama (capital) pertahanan negara, yaitu dengan pemberdayaan berbagai kemampuan seperti ahli bangunan, ahli perkebunan, ahli perkebunan, insinyur, dokter, profesor, ekonom dan lain- lain. Kemampuan manusia tersebut menjadi modal yang sangat berharga bagi NKRI.

Tingginya minat pengabdian masyarakat harus disikapi dengan penyelenggaraan rekrutmen yang sistematis di seluruh wilayah dengan pemberdayaan komando kewilayahan sebagai pelaksana. Tentunya juga harus berpegang teguh dengan prinsip efektif dan efisien, mengingat keuangan negara yang masih sangat terbatas dihadapkan dengan tingkat kebutuhan wilayah yang berbeda-beda dalam menghadapi potensi ancaman.

Persembahan jiwa raga anak bangsa untuk pertahanan negaranya harus sedini mungkin diwadahi melalui realisasi pembentukan komponen cadangan. UU Komponen Cadangan saat ini menjadi mutlak dibutuhkan sebagai pilar penopang pertahanan negara dalam rangka mewujudkan usaha pembelaan negara.

TNI sebagai komponen utama, rakyat sebagai komponen cadangan. Adanya opini pro dan kontra di masyarakat adalah hal yang wajar di alam demokrasi, yang dapat kita serap menjadi kekayaan budaya bangsa. (***)
Jayalah negeriku, makmur lah bangsaku.


Oleh: Mayor CPM Anggiat Napitupulu, SH
*Sumber:poskota.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)