Pentingnya peran sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi Jambi tercermin dari besarnya kelompok masyarakat yang menggantung hidupnya pada sektor ini. Pada tahun 2008 sektor pertanian menyerap tenaga kerja sekitar 58% dari total angkatan kerja berumur diatas 15 tahun. Namun, nilai tambah yang diberikan oleh sektor ini belum memberikan indikasi yang memuaskan bagi pelaku utama pertanian.
Hal ini tercermin dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Jambi yaitu sebesar 30,46%. Secara sederhana dapat diartikan bahwa 58% angkatan kerja pertanian hidup dari 30,46% kue perekonomian daerah ini. Sementara itu 42% angkatan kerja di luar sektor pertanian menikmati hampir 60% kue perekonomian yang tersedia. Dengan demikian terdapat ketimpangan dalam menikmati kue perekonomian antara pelaku utama yang bergerak di sektor pertanian yaitu petani dengan pelaku lain yang bergerak di luar sektor pertanian.
Dalam konteks pembangunan Jambi EMAS (Ekonomi Maju, Aman, Adil dan Sejahtera) sebagaimana yang dicanangkan oleh Gubernur Jambi 2010 – 2015 terpilih tentunya fakta diatas patut menjadi pertimbangan. Ekonomi maju hanya akan dapat dicapai apabila potensi sektor pertanian yang tersedia dapat menciptakan nilai tambah optimal bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini dapat didorong melalui peningkatan produksi pertanian serta menumbuhkan industri hulu dan hilir pertanian.
Sedangkan kesejahteraan hanya akan tercapai apabila setiap sisi kehidupan masyarakat dilakukan dalam rasa yang aman. Sementara itu keamanan hanya akan tercipta apabila masyarakat merasa diperlakukan secara adil. Kesenjangan dalam menikmati kue perekonomian merupakan salah satu pemicu rasa ketidakadilan. Oleh karena itu petani, yang merupakan kelompok angkatan kerja dominan di Provinsi Jambi, sudah seharusnya menjadi target utama dalam konteks pembangunan daerah menuju Jambi EMAS.
Problema Pertanian
Peningkatan kesejahteraan petani tentunya mempunyai makna yang luas, tidak hanya sekedar menyangkut aspek yang bersifat material tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial lainnya. Dalam pengertian yang sempit, kesejahteraan dapat diartikan sebagai penghasilan yang mencukupi.
Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan penghasilan petani, ada dua aspek pokok yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, adalah peningkatan efisiensi produksi, yang didukung oleh penerapan teknologi pertanian tepat guna. Kedua, peningkatan posisi tawar (bargaining power) petani sehingga mampu mendapatkan pembagian (share) yang adil dari usahataninya.
Aspek kedua ini penting dalam aktivitas agribisnis mengingat penghasilan petani sangat ditentukan oleh kemampuan petani dalam bernegosiasi dengan pelaku usaha pertanian yaitu penyedia sarana produksi dan pembeli hasil pertanian. Kata kunci untuk memenuhi kedua sasaran diatas adalah peningkatan kualitas SDM petani, baik dalam mengadopsi teknologi yang dibutuhkan maupun dalam bernegosisasi dengan pelaku usaha pertanian.
Berbicara mengenai SDM petani maka kita berhadapan dengan dua hal pokok yang saling berkaitan yaitu kualitas SDM individu petani dan lembaga tempat mereka berhimpun. Jika kualitas SDM individu petani berkaitan erat dengan produktivitas usahatani maka lembaga petani sangat menentukan posisi tawar petani dalam menjalankan aktivitas agribisnis.
Di sepanjang sejarah pembangunan pertanian yang telah kita alami selama ini posisi tawar petani selalu lebih rendah dari pelaku usaha pertanian sehingga petani menjadi objek pelampiasan kepentingan berbagai pihak. Dalam aktivitas usahatani, petani selalu menjadi makanan empuk pEMASok sarana produksi, pemilik modal maupun para tengkulak.
Mulai dari penyediaan sarana produksi yang dikendalikan sepenuhnya oleh para pemonopoli lokal, penyediaan modal dengan sistem ijon yang mencekik sampai pada penjualan hasil produksi yang diskriminatif. Kesemuanya ini akan menghasilkan ketidakadilan bagi petani sehingga akan sangat berpotensi mengganggu keamanan dalam kehidupan masyarakat.
Pemberdayaan Petani
Peningkatan kemampuan petani dalam bernegosiasi dengan pihak lain akan terus berkelanjutan apabila petani berhadapan secara individu dengan pelaku usaha pertanian. Untuk itu mereka harus dihimpun dalam suatu kekuatan bersama.
Hanya dengan kekuatan bersamalah petani dapat memutus rantai ketidakberdayaannya sehingga memiliki posisi tawar dalam setiap aktifitas kehidupannya. Tidak hanya itu, dengan lembaga yang kuat petani akan mampu secara bersama memilih teknologi yang paling menguntungkan bagi mereka serta saling bertukar pengetahuan (know how) dalam pengelolaan usahatani mereka.
Syaratnya, kekuatan bersama ini harus disusun dalam suatu lembaga yang betul-betul milik petani serta mampu menjadi penyatu kekuatan mereka. Salah satu bentuk lembaga pemberdayaan petani yang direkomendasikan oleh pemerintah adalah kelompoktani. Lembaga non-formal ini diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama, unit produksi dan kelas belajar bagi para petani anggotanya.
Melalui kelompoktani diharapkan petani tidak saja menghimpun kekuatan pada kegiatan fisik peningkatan SDM tetapi dapat juga dikembangkan menjadi lembaga perekonomian seperti halnya koperasi.
Mengembangkan kelompoktani di masyarakat kita saat ini memang bukan merupakan hal yang mudah. Selama ini kelompoktani belum difungsikan sebagai wadah kerjasama petani tetapi hanya sekadar sebagai persyaratan untuk mendapat bantuan pemerintah. Kebiasaan buruk seperti ini telah melahir persepsi yang salah tentang kelompoktani.
Guna memulihkan persepsi ini diperlukan upaya ekstra melalui pendekatan penyuluhan yang benar. Pola penyuluhan yang diterapkan hendaknya tidak semata bertujuan untuk menyalurkan teknologi tetapi juga diarahkan untuk memberdayakan kelembagaan petani. Model penyuluhan yang berorientasi kepada pemberdayaan ini memerlukan kemampuan aparatur penyuluh yang mumpuni.
Penyuluh tidak semata berkomunikasi searah dengan petani sebagaimana seorang pengajar tetapi lebih banyak sebagai pendamping melalui pola kemitraan yang sejajar dengan petani.
Penyuluhan Pertanian
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa peran penyuluhan pertanian dalam meningkatan kesejahteraan petani melalui pola pemberdayaan petani menjadi sangat strategis.
Hanya saja upaya ini tidak mudah dilakukan dengan kondisi penyuluh pertanian seperti yang ada saat ini. Hasil penelitian yang dilalukan oleh Balitbangda Provinsi Jambi awal tahun 2010 ini menunjukkan bahwa efektivitas kerja penyuluh pertanian di Provinsi Jambi berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Dari tiga indikator efektivitas kerja yang digunakan, yaitu perencanaan; pelaksanaan; serta evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penyuluhan, diperoleh nilai rataan 29,15 dari skor tertinggi 100. Mayoritas (89%) penyuluh yang menjadi responden penelitian ini memiliki efektivitas kerja pada kategori rendah (skor 20 – 40); hanya 11% yang berada pada kategori sedang; dan sisanya pada ketegori sangat rendah.
Menyikapi kondisi seperti yang dijelaskan diatas kiranya perlu adanya upaya menata kembali peran penyuluh dalam memerankan fungsinya sebagai ujung tombak pembangunan pertanian kedepan. Untuk itu perlu adanya perubahan orientasi pembinaan yang dilakukan penyuluh dari upaya untuk menerapkan paket teknologi ke pendamping petani melalui pendekatan pemberdayaan.
Sasaran penerapan pendekatannya lebih pada problem solving yang lahir dari bawah, bukan paket-paket yang didrop dari atas. Dengan demikian penyuluh tidak lagi berperan sebagai seorang ahli teknologi yang bisa menjelaskan semua paket teknologi yang ada, tetapi lebih pada perannya sebagai pendamping petani untuk menggali permasalahan dan mencari pemecahannya secara bersama-sama.
Guna memerankan penyuluh sebagai ujung tombak pemberdayaan petani maka dibutuhkan penataan kembali sistem penyuluhan yang ada. Hal utama yang perlu mendapat perhatian adalah upaya untuk merubah cara pandang penyuluh dalam menyelenggarakan penyuluhan pertanian, dari berorientasi kepada teknologi ke pemberdayaan.
Perubahan ini membutuhkan pembinaan yang intensif terhadap aktivitas penyuluh baik melalui pelatihan maupun pemantauan berkala. Materi pelatihan hendaknya lebih ditekankan pada keterampilan penyuluh dalam menerapkan metode pemberdayaan petani dan kelembagaan petani.
Guna menjamin diterapkannya metode yang telah disampaikan secara benar maka dibutuhkan pemantauan secara berkala. Pemantauan ideal terhadap penyuluh dilakukan oleh lembaga penyuluhan lapangan yang terdekat dengan penyuluh yaitu balai penyuluh kecamatan. Dengan demikian revitalisasi balai penyuluhan kecamatan menjadi hal yang patut dilakukan sebagai salah satu prioritas pembangunan pertanian. (infojambi.com)
*) Penulis adalah Peneliti pada Balitbangda Provinsi Jambi.
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)