NASIONAL - Tholut Cs Kemampuannya Setara Pasukan Khusus


Siapakah para penyerang Mapolsek Hamparan Perak? Berdasar hasil penelusuran polisi, kuat diduga, mereka adalah regu teroris yang dilatih Abu Tholut alias Mustofa. Residivis teroris yang saat ini menjadi buron polisi itu juga dianggap sebagai sosok yang menggerakkan perampokan di Bank CIMB Niaga Medan pada 18 Agustus lalu.

Jika memang benar para penyerang Mapolsek Hamparan Perak tersebut adalah para teroris binaan Abu Tholut, kali ini lawan polisi tak bisa dianggap remeh. "Dari DPO terorisme, memang dia (Abu Tholut) yang paling berbahaya," ujar Kadivhumas Polri Irjen Pol Iskandar Hasan kemarin (22/9).

Polisi sebenarnya pernah berhasil meringkus pria yang punya lima nama alias itu. Tepatnya, pada 8 Juli 2003 pukul 16.30 WIB, tim Cobra Polda Metro Jaya (cikal bakal Densus 88) menangkap Pranatayuda alias Mustofa alias Abu Tholut alias Yono alias Imron. Saat itu pria berusia 42 tahun kelahiran Semarang tersebut sempat melawan secara fisik.

Abu Tholut saat itu bersama Suyono alias Yono alias Abu Farouq alias Syukur, pria kelahiran Semarang berusia 41 tahun. Suyono disebut sebagai mantan ketua Wakalah Jamaah Islamiyah (JI) Lampung. Keduanya ditangkap di Permata Hijau, Kaliabang, Bekasi Utara.

Mustofa adalah mantan ketua Mantiqi III JI dan pernah bekerja di Badan Pekerja Markas JI di Jakarta. Dia juga menyatakan pernah ke Afghanistan dan melatih militer di Moro, Filipina. Dia juga aktif dalam jihad di Poso.

Keesokan harinya, 9 Juli 2003 pukul 21.00 WIB, dilakukan penggeledahan terhadap rumah adik Mustofa di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Dari rumah itu berhasil disita barang bukti berupa satu buah tas koper berisi satu pucuk senjata laras panjang M-16, berikut magazin tanpa peluru, satu tempat senjata api FN berisi empat butir peluru kaliber 9 mm, dua buah teleskop, buku-buku dan dokumen JI, serta satu buah tas ukuran sedang berisi kaset-kaset dan VCD JI.

Selanjutnya, pada Jumat, 11 Juli 2003, pukul 01.00 WIB, ditangkap seorang laki-laki berusia 28 tahun kelahiran Solo, bernama Ikhwanuddin alias Asim, di Jalan Kebagusan III, Pasar Minggu. Barang bukti yang berhasil disita saat itu adalah sepucuk M-16 dan satu magazin, satu kardus berisi 27 kotak peluru kaliber 5,56 mm sebanyak 540 butir yang bertulisan PT Pindad, serta kardus ukuran sedang berisi 55 kotak peluru kaliber 5,56 mm sebanyak 1.100 butir.

Sayang, Abu Tholut hanya divonis tujuh tahun penjara pada 11 Mei 2004. Karena sejumlah persyaratan, di antaranya berlaku baik di penjara, Abu Tholut bebas sekitar akhir 2008.

Saat tertangkap pada 2003, dia didakwa kasus penyimpanan dan pengiriman senjata api, amunisi, serta bahan peledak sesuai dengan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat jo 12 Tahun 1951 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hakim PN Jakarta Timur pada Mei 2004 mengatakan, tuduhan jaksa bahwa Abu Tholut terlibat terorisme tidak terbukti.

Secara terpisah, mantan narapidana kasus terorisme Ismail (samaran) yang mengenal Abu Tholut menyebut bahwa kemampuan militer lelaki itu sangat hebat. "Dia assabiqunal awwalun (generasi awal) mujahid Indonesia di Afghanistan," ungkap Ismail saat ditemui di sebuah tempat di Jakarta kemarin.

Ismail yang sekarang mengaku menjauhkan diri dari kelompok yang pernah membawanya ke penjara menjelaskan bahwa Abu Tholut punya keahlian setara dengan polisi. "Bahkan bisa dibilang setara dengan pasukan khusus. Kalau benar dia punya laskar, kemampuannya juga rata-rata pasukan khusus," katanya.

Dia masih ingat, saat sama-sama beraktivitas, mereka belajar teknik SERE. "Itu diajarkan di Afghanistan, singkatan dari Survival, Evation, Resistance, Escape," terangnya. Melihat pola serangan di Hamparan Perak, itu khas teknik SERE ala regu Abu Tholut. "Mereka bertahan hidup dalam pengejaran, membalas secara mendadak, lalu lari menghilang lagi," paparnya.

Secara terpisah, pengamat teroris Mardigu Wowiek Prasantyo mengatakan, pola serangan sporadis ke polsek-polsek akan semakin sering digunakan. "Apalagi, peluru memang lebih mudah diperoleh," ucap Mardigu setelah diskusi Teroris Masih Mengancam di gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.

Alasannya, ungkap Mardigu, cukup sederhana. Ahli hipnoterapi yang kerap membantu Densus 88 itu menuturkan bahwa "biaya" untuk melakukan serangan teror dengan senjata api jauh lebih murah daripada menggunakan bom. Teror bom, lanjut dia, memerlukan kesiapan strategi yang matang. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran juga tentu lebih lama. "Jadi, dari segi strategi penyerangan, penggunaan senjata api lebih praktis, tapi dari sisi opini sudah tercapai," ujarnya.

*Sumber:www.jawapos.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)