BATANGHARI,JAMBI - Berkunjung ke Desa Terluar di Batanghari


MATAHARI sudah hampir sampai di atas kepala ketika Tribun tiba di Desa Kaos, Kecamatan Pemayung. Butuh waktu sekitar dua jam, untuk bisa sampai di salah satu desa terluar di Kabupaten Batanghari itu. Padahal, jaraknya tidak terlalu jauh dari ibukota Kabupaten Batanghari.

 Desa yang dihuni mayoritas suku Jawa itu tidak bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dari Kabupaten Batanghari. Bila ingin sampai di desa itu dengan mengendarai mobil, harus rela keliling dari dari Kelurahan Sekernan (Muaro Jambi) menuju Desa Suak Putat, dan akhirnya sampai di Desa Kaos.

 Kondisi itu terjadi lantaran Desa Kaos dan Desa Pulau Raman, desa tentangganya yang sama-sama masih masuk kabupaten Batanghari, berada di seberang Sungai Batanghari. Selama ini, masyarakat di sana harus naik angkutan air bernama Ketek bila ingin menuju ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten.

  Belum ada jembatan untuk menyeberangi sungai. Cara satu-satunya kalau kami mau ke Muara Bulian harus naikkan motor ke atas ketek untuk menyeberang. Setelah itu kami lanjutkan dengan perjalanan darat. Kalau lewat Desa Suak Sedangkan bila hendak menuju Kota Jambi, mereka lebih memilih lewat Desa Suak Putat, karena akan menghemat pengeluaran dan jaraknya juga lebih dekat.

 "Termasuk saat membawa getah karet, selalu kami bawa lewat Suak Putat menuju Jambi. Getah dari dua desa ini selalu dijual ke Jambi," katanya.

 Berapa banyak getah yang dihasilkan penduduk di dua desa yang hampir semuanya petani itu? Kepala desa itu menyebut setiap minggu sekitar 50 ton getah dari kedua desa itu dijual ke Jambi. Bila dikonversikan dengan harga saat ini, hasilnya sekitar Rp 1 miliar.

  Tapi untuk mengeluarkannya dan mengantarkannya ke Jambi kami kesulitan meski lewat jalan darat. Kami harus melewati jembatan pembatas desa ini dan desa suak putat yang panjangnya sekitar 60 meter. Jembatan itu kondisinya sudah tidak bagus lagi,” tuturnya.

 Tak hanya itu, kesulitan lain yang mereka alami untuk menghasilkan uang satu miliar rupiah itu adalah infrastruktur jalan di sana yang juga sudah rusak. Jalan itu masih jalan tanah, dan sulit dilintasi saat musim hujan. Getah yang dihasilkan kebanyakan dibawa menggunakan sepeda motor ke jalan utama.

  Namun seperti apapun kondisinya kami tetap bersabar. Masyarakat sekarang sedang tersenyum karena getah karet yang hasilnya sudah sangat baik,” ucapnya. Kesejahteraan masyarakat, tambahnya, juga kini semakin baik. Biarpun PLN belum masuk ke sana, desa itu mulai terang karena sudah ada yang menggunakan mesin genset sebagai sumber arus listrik. Tapi masih sebagian kecil,” terangnya.

 Pendapatan yang sudah cukup baik itu tetap tak bisa membuat masyarakat di sana bisa hidup layaknya orang-orang di kota yang punya pendapatan sebesar itu. Tidak adanya fasilitas listrik yang memadai membuat mereka masih hidup dalam kegelapan di saat malam. Sekarang yang paling dikeluhkan oleh masyarakat di dua desa ini masalah listrik,” ungkapnya.

 Bila membeli genset, katanya, memang masyarakat di sana rata-rata sanggup membelinya. Namun yang menjadi masalahnya adalah biaya besar yang harus dikeluarkan tiap hari untuk membeli minyaknya. Selain biaya besar, masyarakat juga kesulitan membeli minyak menggunakan galon,” kata Kades. 

*tribunjambi.com

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)