JAMBI - Kondisi PDAM di Kota/Kabupaten Se-Provinsi Jambi


HAMPIR seluruh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Provinsi Jambi memiliki permasalahan yang sama. Setiap tahun selalu merugi dan menumpuk utang. Padahal, setiap tahun pula miliaran dana pemerintah masuk ke perusahaan pelat merah ini.
Seperti yang diungkapkan Firdaus, Direktur PDAM Tirta Mayang, Kota Jambi, saat hearing (rapat dengar pendapat) dengan Komisi B DPRD Kota Jambi beberapa waktu lalu. 

Cakupan pelayanan PDAM masih rendah. Sebab kapasitas produksi masih kurang. Ditambah angka kehilangan air masih tinggi. 

Sementara di sisi lain, kinerja instalasi pengolahan air (IPA) sudah menurun. Ditambah penilaian kinerja perusahaan juga kurang sehat. Cakupan pelayanan (coverage) PDAM Tirta Mayang baru mencapai 56,29 persen dari total jumlah penduduk Kota Jambi yang berjumlah 532.743 jiwa. Jumlah pelanggan 56.055 SP. 

Terhitung pada awal Januari 2011, PDAM Tirta Mayang Kota Jambi, memutuskan tetap menaikkan tarif air minum dengan kisaran antara 20 hingga 35 persen per pelanggan. Menurut Firdaus, penyesuaian tarif ini mendesak diberlakukan. Sebab, modal produksi dan operasi dengan harga jual air minum sudah sangat tidak seimbang. Sehingga PDAM Tirta Mayang selalu mengalami kerugian.

“Sesuai dengan Peraturan Wali Kota Jambi Nomor 20 Tahun 2010 tanggal 31 Desember 2010, maka tarif air minum memang sudah sepantasnya dinaikkan. Sebab inflasi dan harga barang juga mengalami kenaikan,” katanya. 

Dengan penyesuaian tarif tersebut, PDAM TM sejak 2011 ini akan mampu menghimpun dana sekitar Rp 12 miliar per tahunnya. “Dana yang dihimpun dari kenaikan tarif tersebut akan digunakan sebagai dana pendamping bantuan dari APBN 2011, APBD Provinsi Jambi dan Kota 2011, serta dana saving dari PDAM TM sendiri senilai Rp 6 miliar.

PDAM TM menargetkan akan mampu melayani sekitar 8.000 pelanggan lagi, jika pembangunan dan pengembangan instalasi air minum di beberapa titik Kota Jambi selesai pada akhir 2011 ini.

Tak Sumbangkan PAD, Bantuan Mengalir
Meski selama ini PDAM Tirta Mayang tidak pernah memberikan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Kota Jambi. Namun, bantuan dana dari pemerintah terus mengalir. Kepala Badan Perencanaan Daerah Kota Jambi Ertati Akhmad, beberapa waktu lalu mengungkapkan, tahun 2011 Pemkot Jambi akan mendapatkan bantuan dana investasi sebesar Rp 17 miliar untuk pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Tanjung Sari. Dari Rp 17 miliar itu, Rp 11 miliar investasi dari Pemprov Jambi dan Rp 6 miliar dana sharing dari Pemkot Jambi.

Untuk pemasangan pipa sepanjang 6.000 meter di IPA Benteng, Jalan M Kukuh Broni, PDAM juga mendapatkan dana dari pemerintah pusat sebesar Rp 6,5 miliar dan dari Pemkot Jambi Rp 6,5 miliar. Bantuan pusat itu berasal dari APBN, sedangkan dari Pemkot Jambi, Rp 5 miliar dari APBD dan Rp 1,5 miliar dari PDAM,” bebernya.
Besarnya kucuran dana dari pemerintah itu membuat utang perusahaan BUMD Kota itu pun bertumpuk. Saat ini utang PDAM Tirta Mayang pada Kementerian Keuangan sebesar Rp 28 miliar. Utang pokok hanya Rp 8 miliar sedangkan denda dan bunga adalah Rp 20 miliar. 

Hamid Jufri, Wakil Ketua Komisi B, mengatakan, berdasarkan paparan direktur PDAM Tirta Mayang pada bulan lalu, tentang kerugian PDAM, secara umum ia membenarkan pernyataan tersebut. Sebab data yang dipaparkan cukup akurat.

Namun ia merasa tidak berkompeten memeriksa sejauh itu data keuangan PDAM, sebab ada institusi yang lebih berkompeten memeriksa itu. “Ada inspektorat, ada BPKP, ada BPK, dan ada akuntan publik yang lebih independen,” katanya. 

Dia juga menilai manajemen di dalam tubuh PDAM Tirta Mayang selama ini tidak mengetahui asas efektif dan efisien. Dia mengatakan, PDAM yang notabene sebagai sebuah perusahaan, seharusnya memprioritaskan keuntungan dengan tidak mengkesampingkan kualitas, kontiunitas dan pelayanan ke konsumen.

Menurutnya, berdasarkan paparan Firdaus, biaya produksi air minum di PDAM Tirta Mayang lebih besar dibandingkan dengan harga jual air. Biaya produksi air PDAM saat ini adalah Rp 3.200 per m3 sedangkan harga jual Rp 2.800 per m3. “Sekarang PDAM masih mensubsidi harga air Rp 400 per m3,” katanya.

Ia mengaku setuju dengan kenaikan tarif PDAM. Menurutnya sudah selayaknya tarif air PDAM dinaikkan, karena dibanding daerah lain tarif air PDAM Tirta Mayang paling murah. 

Dengan dinaikkannya tarif PDAM, maka akan dapat menyehatkan manajemen di tubuh PDAM. Selain itu, untuk menghapuskan utang di Kemenkeu. 

Dia menyarankan setelah menaikkan tarif PDAM, pelayanan dan kualitas air yang disalurkan ke masyarakat harus ditingkatkan. “Harus seimbang kenaikan dengan pelayanan terhadap masyarakat,” ujarnya.      

Menurut Fathul Hadi, Direktur Teknik PDAM TM, Kemenkeu memberi batas waktu ke PDAM untuk menyeimbangkan biaya produksi dan harga jual air PDAM 31 Desember 2010 lalu. Setelah biaya produksi dan harga jual seimbang barulah hutang PDAM bisa dihapuskan. Saat ini utang PDAM Tirta Mayang di Kemenkeu adalah Rp 28 miliar, dan yang akan dihapuskan hanya utang bunga dan denda saja sebesar Rp 20 miliar.

Sementara itu, PDAM Tirta Sakti Kerinci di tahun 2011 ini menargetkan keuntungan sebesar Rp 1,2 miliar. Guna mencapai target tersebut berbagai upaya tengah dilakukan di antaranya mengoptimalisasi kapasitas produksi dan jaringan pipa. Lalu, penghapusan utang, perbaikan pelayanan, pemerataan aliran pelayanan dan rencana kenaikan tarif air bersih tersebut.

Hal lain yang akan dilakukan oleh pihak PDAM Tirta Sakti Kerinci yakni membangun instalasi pengolahan air mulai dari Kumun, Tanah Kampung dan termasuk di komplek perkantoran Bupati Kerinci di Bukit Tengah, Kecamatan Siulak. 

Seperti yang dijelaskan Direktur Utama PDAM Tirta Sakti Kerinci Ir H Nandang melalui Direktur Umum Sasli Rais, kepada Jambi Independent. “Ya, tahun ini kita menargetkan keuntungan sebesar Rp 1,2 miliar,” tegasnya.

Sasli Rais mengatakan, target tersebut yakin akan bisa dicapai oleh PDAM Tirta Sakti Kerinci dengan berbagai rancangan kegiatan dan program yang akan dilakukan tahun 2011 ini.

Untuk diketahui sebut Dirut Umum PDAM Tirta Sakti Kerinci itu, sejak berdiri tahun 1991 lalu PDAM Tirta Sakti Kerinci baru mendapatkan keuntungan atau laba tahun 2010. “Selama ini memang kita tidak pernah untung dan baru untung tahun 2010 kemarin sebesar Rp 266 juta,” katanya. 

Kepada koran ini, Sasli Rais juga menjelaskan bahwa jumlah masyarakat Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh yang sudah menikmati air bersih atau PDAM mencapai 65 persen. Dengan kata lain sebutnya, jumlah pelanggan PDAM Tirta Sakti Kerinci 35.600 pelanggan yang tersebar di delapan cabang di 17 Kecamatan Kota Sungaipenuh dan Kabupaten Kerinci. 

Delapan cabang yang dimaksudkan itu katanya meliputi PDAM Cabang Kayu Aro, Siulak, Semurup, Sungaipenuh, Hiang, Pulau Tengah, Lempur dan Cabang Tamiai. “Kita rencanakan tahun ini akan dibangun di Kumun, Tanah Kampung dan di Siulak Bukit Tengah,” ucapnya.

Di Kabupaten Merangin, PDAM Tirta Buana Bangko, juga terus merugi. Alasan manajemen PDAM, kerugian yang terjadi dampak belum adanya penyesuaian tarif dasar pembayaran rekening pengguna jasa PDAM, biaya produksi pelayanan air bersih yang terus semakin membengkak. “Persoalan ini memang belum terpecahkan sampai saat ini. Sejatinya, jika PDAM tidak ingin terus merugi, Pemkab Merangin dan DPRD Merangin dapat memberikan dukungan guna penyesuaian tarif dasar PDAM. Saat ini, tarif dasar PDAM masih berkutat diangka Rp 1.400/m3,” ungkap M Zuhdi, Direktur PDAM Tirta Buana Bangko. 

Lalu, berapa jumlah kerugian yang didapat selama dua tahun terakhir? M Zuhdi belum berani mengungkapkan kerugian perusahaan pelat merah yang dia pimpin itu. Alasannya, saat ini  Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP), masih melakukan audit keuangan PDAM. “Kurang etis kan, kalau saya bicara angka kerugian, sementara hasil audit BPKP belum keluar. Yang jelas kita tidak akan menutupi angka kerugian yang diterima PDAM, setelah hasil audit BPKP tersebut keluar,” akunya.

Diakui Zuhdi, saat ini pihaknya tengah berjuang  keras untuk mendapatkan kucuran dana sharing pusat, untuk peningkatan sarana dan prasarana air bersih. “Total dana yang tengah kita perjuangkan guna mendapatkan dana sharing pusat senilai Rp 6,6 miliar. Untuk mendapatkan dana tersebut, pemerintah provinsi maupun Pemkab Merangin harus menyiapkan dana sharing sebagai wujud keseriusan pemerintah daerah untuk mendapatkan kucuran dana pusat tersebut.  Pemkab Merangin membantu dana sharing senilai Rp 330 juta, ditambah dana sharing PDAM  Rp 200 juta, dan bantuan dari Pemerintah Provinsi Jambi Rp 600 juta. Dan saat ini, kucuran dana pusat tersebut masih kita perjuangkan,” katanya.

Nantinya, kucuran dana tersebut akan diperuntukkan untuk pembangunan instalasi  pengolahan air (IPA), dengan titik lokasi mesin IPA akan ditempatkan di kawasan Talang Kawo, yang lahannya sudah dibebaskan Pemkab Merangin beberapa bulan terakhir. “Mudah-mudahan dana sharing pusat tersebut dapat kita dapat, guna meningkatkan pelayanan air bersih pada masyarakat. Sehingga program Gubernur Jambi menuju Jambi Emas dapat terealisasi sesuai dengan program Merangin Makmur 2013,” tandasnya. 

Bagaimana dengan  PDAM di Sarolangun? Sampai Desember tahun 2010 lalu, jumlah tunggakan pelanggan PDAM Sarolangun mencapai Rp 1 miliar lebih. Jumlah tagihan tersebut terakumulasi mulai dari 2001 hingga 2009. Taufik Hidayat, Kepala PDAM Sarolangun, kepada Jambi Independent, mengatakan, kerugian sulit untuk dihindarkan karena dari sisi biaya produksi saja sudah tidak imbang dengan harga jual air. “Permeter kubik kita jual Rp 3000, sedangkan biaya produksi mencapai Rp 6500,” ujarnya. 

Selain itu, menurut Taufik, yang menjadi penyebab kerugian adalah tunggakan pelanggan yang mencapai 40 persen dari total pelanggan yang ada. “Coba bayangkan,dari sekitar 6000 konsumen rumah tanggga, sekitar 40 persenya nunggak, jadi jika dikomulatifkan sejak awal berdirinnya PDAM Sarolangun tahun 2000, hingga tahun 2010 lalu, maka tunggakan tagihan PDAM yang belum dibayar masih lebih dari Rp 1 milar,” paparnya.

Jadi jika tidak adanya subsidi dari pemerintah daerah, maka bisa dikatakan PDAM sulit untuk berjalan. “Beruntung untuk tahun 2011 ini, kita dapat dana penyertaan modal dari Pemkab sebesar 1 miliar dan dana pendamping 1 miliar, totalnya ada suntikan dana Rp 2 miliar,” ujar Taufik.

Menurut Taufik, Dana Rp 2 miliar itu akan dijadikan biaya produksi dan memperluas jaringan ke konsumen. Sebagai bentuk upaya perbaikan, Kedepan kata Taufik, pihak PDAM akan berusaha memberikan ketegasan kepada pelanggan nakal, yang telat bayar tagihan. “Jika telah dua bulan nunggak, akan segera kita surati, selanjutnya bulan ketiga akan langsung diputus, pemutusan meteran air tidak serta merta menghapuskan tagihan yang nunggak,” tegas Taufik. 

Sementara itu, dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat hingga Desember 2010 lalu, PDAM Tirta Pengabuan hanya memiliki 2.356 pelanggan
atau hanya mampu memenuhi kebutuhan air bersih untuk 14.164 jiwa atau 5,78 persen dari total jumlah penduduk Tanjab Barat yang saat ini mencapai 245.224 jiwa.

Direktur PDAM Tirta Pengabuan, Amas Parlindungan mengakui, masih rendahnya tingkat pelayanan air bersih ini disebabakan oleh beberapa faktor antara lain, terbatasnya jaringan pipa yang menghubungkan ke rumah-rumah penduduk sehingga penjualan air terbatas dan belum mampu menutupi biaya produksi air. Masalah ini juga berdampak pada tingginya harga jual kepada masyarakat.

Selain itu belum beroperasinya intake PDAM di Teluk Pengkah juga menjadi salah satu indikasi. Di samping itu masih rendahnya kualitas air yang didistribusikan mempengaruhi pilihan masyarakat untuk menggunakan air PDAM. Sehingga banyak masyarakat yang masih enggan menggunakan air PDAM.

Idealnya kata Amas, untuk memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat, saat ini Tanjab Barat sudah harus berbenah dengan cara menambah kapasitas produksi dan meningkatkan kualitas air bersih karena kualitas air yang diolah saat ini masih belum memenuhi standar atau masih jelek.

“Ya kita harus akui, jenis air kita ini kan berbeda dengan air-air yang lain, air kita ini kualitasnya masih jelek, PH nya rendah, kadar besi tinggi dan sangat ditentukan oleh musim. proses filterisasinya pun berbeda sehingga biaya produksinya tingga dan harga jualnya pun juga ikut tinggi, itupun belum mampu menutupi biaya produksi,” terangnya.

Amas menjelaskan, untuk menutupi biaya produksi, PDAM setiap tahun terpaksa harus mengharapkan suntikan dana subsidi dari pemerintah daerah. Pada tahun 2010 saja kata dia PDAM menerima subsidi sekitar Rp 2,2 miliar. “Dan pada tahun 2011 ini terpaksa kita ajukan usulan dengan jumlah nominal yang sama untuk memenuhi biaya produksi,” jelasnya. Amas juga mengharapkan kondisi yang ada mendapat apresiasi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Karena selama ini urusan air bersih di sana masih sangat bergantung dari dana APBD Kabupaten tanjung Jabung Barat.

Kerja Sama dengan Investor Bukan Solusi
Rencana kerja sama antara PDAM Tirta Mayang, Kota Jambi dengan investor Australia, dinilai bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah perusahaan pelat merah itu. Bahkan, kerja sama ini dinilai dapat membahayakan PDAM Tirta Mayang. 

Sekretaris Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia Provinsi Jambi Erbandi mengatakan, kerja sama itu dilakukan untuk meningkatkan produksi PDAM Tirta Mayang agar dapat melayani 80 persen kebutuhan air masyarakat. Sebagaimana target Milennium Development Goals (MDG’S) tahun 2015. Konon, kata dia, PDAM Tirta Mayang berencana melakukan kerja sama dengan pihak swasta. 

Bentuk kerja samanya, Unit Produksi PDAM Tirta Mayang akan diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta dengan pola kerja sama kontrak Rehabilitation Operate and Transfer (ROT). Kerja sama PDAM dengan pihak swasta populer disebut dengan  Publik Private Partnership (Kemitraan) dan  Publik Private Privatisasi (Swastanisasi).

Rencana kerja sama PDAM dengan swasta dengan pola Public Private Partnership (kemitraan) di Indonesia dikenal dengan nama Kerja sama Pemerintah Swasta (KPS). Peran pemerintah sebagai regulator  dan enabler swasta sebagai operator dan provider. Dalam KPS pengelolaan diserahkan kepada swasta dan aset masih tetap milik pemerintah yang dikembalikan dalam periode tertentu misalnya 20 – 25 tahun.    

Menurut Erbandi, sebelum melangkah lebih jauh, pihak PDAM diharapkan melakukan kajian secara cermat terhadap obyek yang akan dikerjasamakan. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana manfaat kerja sama bagi masyarakat Kota Jambi sebagai pihak yang terimbas langsung dari kebijakan yang dilakukan. 

“Dengan dilakukan kajian, akan diketahui variabel-variabel yang dimainkan dalam perjanjian kerja sama. Apabila dalam analisis ada variabel yang merugikan dan membahayakan, maka akan segera diketahui. Karena kalau terjadi kerugian PDAM yang akan menanggung sendiri, sebab pihak swasta tidak ada yang menjalin kerja sama untuk rugi,” jelasnya.

Dalam hal kerja sama ini, Pemerintah Kota Jambi juga harus benar-benar mempelajari secara cermat skema pembiayaan oleh pihak swasta. Karena umumnya swasta mendapat pembiayaan dari bank dengan bunga komersial. Biaya keuangan yang tinggi mengakibatkan tarif yang tinggi dan tentunya dapat membebani pelanggan. 

Berdasarkan pengalaman 14 kontrak kerja sama ROT yang dilakukan PDAM di Indonesia dengan pihak swasta, menurut dia, terdapat empat KPS  yang mengalami hambatan. Yaitu Makasar, Semarang, Kabupaten Pati dan Cikokol Tangerang. “Penyebabnya adalah ketimpangan kerja sama dan penentuan tarif,” ujarnya.  

Mengacu pada  Peraturan Presiden No 67 tahun 2005, tentang Kerja sama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan Kepmendagri No 43 tahun 2000, tentang Kerja sama Perusahaan Daerah dengan pihak ketiga, perlu dilakukan studi kelayakan terhadap objek yang akan dikerjasamakan. Sehingga variabel biaya operasi/OPEX (operating expenditure), biaya investasi/CAPEX (capital expenditure) dan tarif air curah (bulk water charge) akan menjadi pertimbangan yang paling penting dalam perjanjian kerja sama tersebut.

Sebab, menurut Erbandi, berbicara PDAM, tentunya menyangkut hulu dan hilir sistem pengelolaan air minum. Yaitu meliputi kapasitas produksi, pengelolaan produksi, penanganan kebocoran distribusi dan pengelolaan sistem distribusi. Kebocoran distribusi merupakan pekerjaan yang perlu segera ditangani, karena penambahan produksi sekalipun tidak akan ada artinya bila kebocoran sistem distribusi tidak ditangani. 

Menyerahkan peningkatan produksi kepada swasta dalam kondisi kehilangan air atau kebocoran sistem distribusi PDAM Tirta Mayang yang mencapai 40 persen, seperti saat ini dapat membahayakan. Karena kebocoran atau kehilangan air tersebut menjadikan PDAM Tirta Mayang harus menjual air dengan harga lebih tinggi dari harga air yang dijual swasta. 

Swasta, kata dia, hanya menghitung air terjual melalui meter induk yang dipasang bersama. Artinya, PDAM Tirta Mayang harus memasukkan beban kebocoran tersebut ke dalam harga jual air yang dijual swasta dan menjualnya kepada masyarakat. “Pertanyaannya adalah, mampukah masyarakat Kota Jambi membeli air dari PDAM dengan harga jual swasta plus,” katanya.(fay/ian/ctr/amu/aki)

*jambi-independent.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)