INTERNASIONAL - Cerita Revolusi dari La Kasba


Mereka rela berkorban meninggalkan kampung halaman menuju ibu kota Tunis nan jauh di sana. Mereka datang dari berbagai provinsi di Tunisia meski harus menghadapi cuaca ekstrem, suhu dingin.

Ada yang datang dari kota El Hamma, Provinsi De Gabes (sekitar 400 kilometer arah selatan kota Tunis), ada yang datang dari Provinsi Kairouan (sekitar 200 km arah selatan kota Tunis), ada yang datang dari Provinsi Sfax (300 km arah selatan kota Tunis), dan ada pula yang dari Sidi Bouzid (265 km arah selatan kota Tunis).

Tujuan mereka adalah sebuah distrik yang disebut La Kasba, sebuah tempat yang terdapat Kantor Perdana Menteri (PM) Tunisia dan kementerian keuangan negeri itu.
Maksud kedatangan mereka ke La Kasba hanya satu: menuntut pembubaran Pemerintah Persatuan Nasional pimpinan PM Mohamed Gannouchi dan Partai Perkumpulan Konstitusional Demokrasi (RCD) yang berkuasa pada era rezim Presiden Zine al-Abidine Ben Ali (1987-2011).

Mereka pun kini menduduki kantor PM itu. Mereka rela tidur di alam terbuka berhari-hari di tengah suhu dingin ekstrem di depan kantor PM di Distrik La Kasba. Suhu udara bisa mencapai 5 derajat celsius pada malam hari. Sebagian dari mereka mendirikan kemah seadanya untuk melindungi diri dari suhu dingin itu.

Itulah sisa cerita revolusi Tunisia. Setelah berhasil mengempaskan rezim kuat Ben Ali pada 14 Januari lalu, kini mereka berjuang menggusur sisa-sisa loyalis Ben Ali yang masih bercokol dalam pemerintahan sementara.

Siapa pun yang mengunjungi Tunisia saat itu pasti akan merasakan kuatnya gerakan Ben Ali-phobia dan RCD-phobia.

Dan, apabila berada di La Kasba saat ini, segera terasa pula bahwa negeri Tunisia benar-benar sedang dihinggapi sebuah revolusi yang menghendaki perubahan mendasar dalam semua aspek kehidupan.

”Saya sudah empat hari di sini dan akan terus bertahan di sini kecuali setelah pemerintahan korup ini jatuh,” ujar Nouri Bouchlaka yang mengaku berasal dari kota El Hamma.

Nouri Bouchlaka bersama 400 rekannya dari kota El Hamma datang ke ibu kota Tunis dengan tekad menjatuhkan pemerintahan baru yang masih terdapat sisa-sisa loyalis Presiden Ben Ali.

Seorang warga Tunisia lainnya, Mohamed Ali, yang berasal dari Provinsi Kairouan, bersama 12 rekannya juga datang ke kota Tunis. ”Saya sudah empat hari di sini. Saya tidak akan pulang sampai pemerintahan mafia ini jatuh,” kata Mohamed Ali dari kemahnya di La Kasba.

Warga Tunisia lain, Salem Jazzi, yang berasal dari Provinsi Sfax, mengaku sudah tiga hari berada di La Kasba. Ia juga menyatakan datang ke Tunis untuk menjatuhkan pemerintahan baru dan RCD.

La Kasba, seperti Jalan Habib Bourguiba, adalah sebuah tempat yang juga populer di Tunis. Di La Kasba, selain ada kompleks pemerintahan dan pasar tradisional besar (Souk), ada pula masjid historis, Zaitounah. La Kasba menjadi tujuan wisata para turis asing untuk berbelanja di Souk.

Kini nasib La Kasba seperti nasib Jalan Habib Bourguiba, yakni menjadi tempat unjuk rasa massa.

Di La Kasba, massa beranggotakan ribuan orang dari semua penjuru negeri Tunisia ramai berteriak-teriak bagi kejatuhan pemerintahan baru. Kadang mereka mencoba mendobrak pintu kantor PM, tetapi selalu dihadang militer yang menjaga kantor tersebut.

Di La Kasba kini juga penuh dengan pamflet anti-Ben Ali, anti-RCD, dan antipemerintahan baru. Ada pamflet bertuliskan ”Tidak untuk Pemerintahan Korup”, ”Tidak akan pulang kampung kecuali setelah jatuhnya pemerintah korup dan antek Ben Ali”, ”Para Syuhada Wilayah Selatan Tunisia demi revolusi kebebasan dan kehormatan”, ”Bubarkan RCD dan kembalikan kekayaan rakyat”, ”Warga Sidi Bouzid, Meknassy, dan Bouzaiane bersikeras jatuhnya pemerintahan Mohamed Gannouchi”, dan ”Jatuhkan pemerintahan mafia”.

Ada pula beberapa mahasiswa membawa pamflet bertuliskan ”Para Mahasiswa Teknik Tunisia dukung upaya menjatuhkan pemerintahan baru”.

Kekuatan-kekuatan politik di Tunisia kini terpecah. Ada yang menginginkan pembubaran pemerintahan baru (ad interim) pimpinan PM Mohamed Ghannouchi karena ia masih sisa-sisa rezim lama, tetapi ada pula yang menghendaki cukup merombak kabinet dengan membuang figur-figur mantan pejabat era Ben Ali.
Berita yang beredar di ibu kota Tunis, pemerintah dan partai-partai sedang menggelar perundingan intensif untuk merombak kabinet yang rencananya diumumkan pada Rabu atau Kamis ini.

Pemerintahan baru pascaperombakan kabinet itu akan menjadi uji coba, sejauh mana hal itu bisa diterima rakyat negeri tersebut.

Kepentingan semua pihak di Tunisia adalah negeri itu segera normal kembali agar kerugian yang menimpa negeri tersebut tidak semakin besar. Apalagi musim turis tinggal dua atau tiga bulan lagi.

Tunisia dikenal sebagai negeri yang sebagian pendapatan devisanya berasal dari industri turisme. Diperkirakan sekitar 7 persen dari produk domestik bruto negeri berpenduduk 10 juta jiwa ini datang dari turisme dengan 370.000 lapangan kerja di sektor tersebut. Diperkirakan sekitar 7 juta turis berkunjung ke negeri itu setiap tahun.

Sejak meletusnya revolusi pertengahan Desember lalu, Tunisia telah mengalami kerugian sekitar 2 miliar dollar AS. Selain wisata laut di Hammamet, Sousse, dan Jerba, pasir pinggir laut dan juga sisa-sisa reruntuhan kerajaan Romawi kuno adalah beberapa daya tarik negeri ”surga” wisata ini. Di negeri wisata ini tak pula ditemukan pengemis ataupun calo. Dan, kunjungan turis terbanyak di Tunisia adalah antara Juli dan Agustus.

Terlepas dari keindahan obyek wisata di Tunisia ini, menurut sejumlah pakar pariwisata, hanya sebagian kecil usaha pariwisata di Tunisia yang dimiliki orang Tunisia sendiri.

Masih beruntung, pergolakan politik lebih banyak terjadi di Tunisia selatan sehingga wilayah wisata yang umumnya berada di utara tak terjamah kerusuhan. Industri pariwisata di negeri yang hanya memiliki luas 163.610 kilometer persegi ini tak terlalu menderita parah akibat kerusuhan politik....

*kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)