EVALUASI menjadi salah satu kunci sukses tidaknya sebuah pemerintahan. Termasuk bagi kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, yang hari ini genap memasuki satu tahun. Karena itu bukan hal yang aneh bila Presiden SBY ingin mengevaluasi kinerja kabinetnya. Dan, wajar pula bila kemudian klaim-klaim keberhasilan bermunculan.
Setidaknya itu yang dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa bahwa 90% target kinerja perekonomian telah dicapai.
Fakta memang memperlihatkan di bidang ekonomi, paling tidak secara makro, klaim keberhasilan itu bukan sekadar bualan. Tengok misalnya, pertumbuhan ekonomi 2010 yang mencapai 5,5%, lebih tinggi daripada tahun sebelumnya yang hanya 4,5%. Bahkan, lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia maupun IMF berani mematok pertumbuhan Indonesia bisa mencapai 6% tahun ini.
Angka kemiskinan dan pengangguran juga menunjukkan tren penurunan. Total jumlah orang miskin yang mencapai 32,5 juta orang pada 2009 kini menjadi 31 juta jiwa. Sementara angka pengangguran berkurang dari 8,1% pada 2009 menjadi 7,4%.
Tidak cuma itu, peringkat daya saing Indonesia juga meningkat signifikan. Forum Ekonomi Dunia, misalnya, September silam mengumumkan indeks daya saing global Indonesia di posisi ke-44, naik sepuluh tingkat daripada tahun 2009.
Untuk kawasan ASEAN, posisi Indonesia itu lebih baik jika dibandingkan dengan Vietnam di posisi 59, Filipina (85), dan Kamboja (109). Namun, Indonesia masih kalah dari Singapura (3), Malaysia (26), Brunei (28), dan Thailand (38).
Di bidang politik dan keamanan pun, dalam setahun belakangan, memperlihatkan sejumlah keberhasilan. Setidaknya itu yang ditunjukkan Polri dalam memberantas jaringan teroris di Aceh, Sumatra, dan Jawa.
Begitu pula, tetap terjaganya koalisi propemerintah dalam sekretariat bersama haruslah dipandang sebagai keberhasilan kabinet SBY. Meski muncul sejumlah gejolak politik, toh kubu SBY masih tetap menguasai DPR.
Di tengah sejumlah keberhasilan itu, harus jujur diakui ada kinerja kabinet yang belum memuaskan. Salah satunya adalah ketidakseriusan pemerintah dalam merevisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Padahal, upaya revisi itu sudah dilakukan sejak 2006, namun hingga kini belum juga terwujud. Padahal pula, arah revisi UU Ketenagakerjaan yang dinilai kurang responsif dan kondusif terhadap pengusaha dan investor, sudah jelas. Yaitu, bagaimana tidak memberatkan pemberi kerja, sekaligus tetap menjamin hak-hak buruh.
Yang juga belum memuaskan tentu saja kinerja kabinet terkait dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pengungkapan kasus-kasus mafia hukum baru menyentuh pelaku-pelaku kelas teri, belum kakap. Sementara kasus korupsi besar seperti skandal Bank Century juga belum tuntas.
Harus jujur kita katakan ada banyak persoalan lain seperti lapangan kerja, sektor riil, dan penyerapan anggaran yang belum menunjukkan perbaikan. Perkara-perkara itulah yang kemudian melahirkan ketidakpuasan seperti diperlihatkan aksi demonstrasi mahasiswa Makassar terhadap Presiden SBY, kemarin.
Popularitas SBY yang menurun disebabkan harapan publik yang terlalu besar, sedangkan implementasi terlalu sedikit. Publik tidak puas terhadap pencapaian yang terlalu sedikit dari yang seharusnya bisa, tapi kelihatan pemerintah tidak mau. Penegakan hukum adalah salah satu yang paling parah.
Setidaknya itu yang dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa bahwa 90% target kinerja perekonomian telah dicapai.
Fakta memang memperlihatkan di bidang ekonomi, paling tidak secara makro, klaim keberhasilan itu bukan sekadar bualan. Tengok misalnya, pertumbuhan ekonomi 2010 yang mencapai 5,5%, lebih tinggi daripada tahun sebelumnya yang hanya 4,5%. Bahkan, lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia maupun IMF berani mematok pertumbuhan Indonesia bisa mencapai 6% tahun ini.
Angka kemiskinan dan pengangguran juga menunjukkan tren penurunan. Total jumlah orang miskin yang mencapai 32,5 juta orang pada 2009 kini menjadi 31 juta jiwa. Sementara angka pengangguran berkurang dari 8,1% pada 2009 menjadi 7,4%.
Tidak cuma itu, peringkat daya saing Indonesia juga meningkat signifikan. Forum Ekonomi Dunia, misalnya, September silam mengumumkan indeks daya saing global Indonesia di posisi ke-44, naik sepuluh tingkat daripada tahun 2009.
Untuk kawasan ASEAN, posisi Indonesia itu lebih baik jika dibandingkan dengan Vietnam di posisi 59, Filipina (85), dan Kamboja (109). Namun, Indonesia masih kalah dari Singapura (3), Malaysia (26), Brunei (28), dan Thailand (38).
Di bidang politik dan keamanan pun, dalam setahun belakangan, memperlihatkan sejumlah keberhasilan. Setidaknya itu yang ditunjukkan Polri dalam memberantas jaringan teroris di Aceh, Sumatra, dan Jawa.
Begitu pula, tetap terjaganya koalisi propemerintah dalam sekretariat bersama haruslah dipandang sebagai keberhasilan kabinet SBY. Meski muncul sejumlah gejolak politik, toh kubu SBY masih tetap menguasai DPR.
Di tengah sejumlah keberhasilan itu, harus jujur diakui ada kinerja kabinet yang belum memuaskan. Salah satunya adalah ketidakseriusan pemerintah dalam merevisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Padahal, upaya revisi itu sudah dilakukan sejak 2006, namun hingga kini belum juga terwujud. Padahal pula, arah revisi UU Ketenagakerjaan yang dinilai kurang responsif dan kondusif terhadap pengusaha dan investor, sudah jelas. Yaitu, bagaimana tidak memberatkan pemberi kerja, sekaligus tetap menjamin hak-hak buruh.
Yang juga belum memuaskan tentu saja kinerja kabinet terkait dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pengungkapan kasus-kasus mafia hukum baru menyentuh pelaku-pelaku kelas teri, belum kakap. Sementara kasus korupsi besar seperti skandal Bank Century juga belum tuntas.
Harus jujur kita katakan ada banyak persoalan lain seperti lapangan kerja, sektor riil, dan penyerapan anggaran yang belum menunjukkan perbaikan. Perkara-perkara itulah yang kemudian melahirkan ketidakpuasan seperti diperlihatkan aksi demonstrasi mahasiswa Makassar terhadap Presiden SBY, kemarin.
Popularitas SBY yang menurun disebabkan harapan publik yang terlalu besar, sedangkan implementasi terlalu sedikit. Publik tidak puas terhadap pencapaian yang terlalu sedikit dari yang seharusnya bisa, tapi kelihatan pemerintah tidak mau. Penegakan hukum adalah salah satu yang paling parah.
*Sumber:mediaindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar
free comment,but not spam :)