JAMBI - Kiprah Deddy Djaba Sjukri bersama Gendang Kubu


Jambi memiliki beberapa musisi yang eksis melestarikan musik tradisional. Deddy Djaba Sjukri salah seorang di antaranya. Dia mampu memahami dan membawakan Gendang Kubu. Seperti apa kiprahnya?
“Oooo... sirih layang pinang layang
Sirih kuning gagah merkah
Hati gilo dibuatnyo
Sirih kuning gagang kuning
Hati gilo dibuatnyo..”

Begitulah sepenggal mantra yang acap kali dilantunkan oleh Suku Anak Dalam (SAD) atau suku Kubu pada sebuah upacara adat. Mantra tersebut dilantunkan secara berulang-ulang dengan diiringi tabuhan gendang yang disebut Redap oleh SAD. Itu pula lah yang menjadi inspirasi seorang Deddy Djaba Sjukri untuk lebih mendalami alat musik redap atau yang dikenal dengan gendang kubu. 

Bertempat di Kasang, tepatnya di Dinas Pertanian Kota Jambi, Subraiser Ikan Hias, Deddy kini bermukim. Deddy Djaba, begitu ia biasa dipanggil, terkenal akan kepiawaiannya dalam bermain gendang kubu. Namun siapa sangka, dia telah melakukan serangkaian survei demi mengetahui apa sebenarnya gendang kubu, dan bagaimana masyarakat yang terbilang primitif menggunakan alat musik tersebut.

Seraya menghisap sebatang rokok di tangannya kemarin (10/2), Deddy mengenang ihwal pertama kali dirinya terjun ke tengah-tengah masyarakat Kubu. Diceritakan, sebanyak tiga kali Deddy mengunjungi SAD di tiga tempat, yaitu di Nyogan, Bukit dua Belas, serta Bangkai Duo Tabang Para. Survei ini dilakukan pertama kali pada tahun 1975. 

Pada saat itu, katanya, Deddy hadir dalam sebuah upacara adat yang disebut Upacara Besale. Diceritakannya, dalam upacara tersebut, masyarakat Kubu mengalunkan mantra-mantra selama 12 jam tanpa henti. Hal yang membuat upacara tersebut semakin sakral, adalah tabuhan gendang yang mengiringi. Itulah Redap. “Jadi, untuk menggeluti sebuah kesenian, kita harus tahu dulu latar belakangnya, asal usul, serta fungsi yang sebenarnya. Sakral memang, untuk itu, kita juga harus mempergunakannya secara bijak,” ujarnya.

Hari-hari pria paruh baya ini dihabiskan dengan bertugas di Dinas Perikanan Kota. Di sana dia bertugas mengurus ikan-ikan hias, termasuk memberinya makan. Setahun sudah dia bermukim di sana. Namun, meski sibuk, Deddy tetap setia membawa Gendang Kubu yang telah membawanya berkeliling dunia.

Kepada Jambi Independent, Deddy memperagakan kepiawaiannya memainkan gendang tersebut seraya melantunkan mantra. Tabuhannya sederhana, namun terdengar sakral. Dia memainkan beberapa pola, setiap pola mewakili masing-masing kabupaten di Provinsi Jambi, “setiap kabupaten memiliki pola redap yang berbeda,” ungkapnya setelah menghentikan lantunan mantra.

Seraya memandang gendang yang masih berada di pangkuannya, Deddy bercerita, dia telah berkeliling dunia bersama gendang tersebut. Tahun 1992, adalah masa pertama kalinya dia mewakili Indonesia membawa nama Jambi untuk berkompetisi dengan negara-negara lain.

Untuk memastikan, Deddy memperlihatkan paspornya. Perjalanan luar negeri pertama yang dilakukannya adalah ke London dan Spanyol dalam rangka Festival Musik Tradisional. Hingga tahun 1996, dia beserta grup musik dan tari memenangkan sebuah kejuaraan dunia di Prancis. “Saat itu, kita dapat juara I dalam Festival Tari Rakyat se-Dunia, Bahasa Prancisnya Plot Qlorit,” katanya. 

Gendang kubu sudah menemani pria kelahiran Jambi, 10 Oktober 1952 itu selama bertahun-tahun. Dia kembali menabuh gendang itu, namun sembari bercerita kepada Jambi Independent. “Kami juga mendapat juara satu di Toronto, Canada, banyak sudah kisah yang ditorehkan gendang ini dalam kehidupan saya,” katanya. Juga, dia mengenang perjalanan kelompoknya ke Festival Johor Baru, Pesta Raya di Singapura dan Pesta Gendang di Malaka. 

Kecintaannya terhadap dunia seni juga mempengaruhi karirnya hingga saat ini. Semula, dari tahun 1972 hingga 1979, dia belum fokus mendalami seni musik, karena pada masa itu, Deddy lebih mendalami dunia tari. Barulah setelah dirinya melakukan riset ke Suku Anak Dalam, dengan bulat dia menekuni dunia musik, khususnya alat musik perkusi.

Saat ini, dia tergabung dalam sebuah kelompok musik bernama Mindu Lahin, sebuah kelompok yang terdiri dari masyarakat Jambi yang memiliki komitmen untuk menekuni serta melestarikan budaya Jambi. Di nusantara sendiri, kelompok ini juga aktif. Di tahun 1979, mereka membawakan pertunjukan gendang kubu dengan tema Siri Layang, dan di tahun 1990-an, mereka kembali tampil dengan tema Pekaseh, diambil dari salah satu isi upacara Besale di Nyogan.

Harapannya kini, adalah agar para pemuda Jambi mulai mencintai kesenian tradisional. Namun diikuti mempelajari latar belakang serta sejarah dari kesenian tersebut. Disebutkannya, saat ini memang sudah mulai bermunculan bibit-bibit seniman tradisional mulai dari siswa SD hingga SMP. 

“Namun jumlah pemusik tradisional kalah banyak dengan para penari tradisional dan teater,” katanya. Dia mengimbau para generasi muda untuk mengenal seni musik tradisional.

Itu lah Deddy, sebongkah emas bagi kelestarian musik tradisional Jambi, yang luput dari perhatian pemerintah. Sayang jika sosok ini tak “dipakai” oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Malah ditempatkan di Dinas Pertanian Kota Jambi.(*)

*jambi-independent.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)