NASIONAL - Kegagalan Mengurus TKI


PARA pemangku kepentingan di negeri ini seperti tidak pernah mau belajar dari tragedi kemanusiaan. Kasus pembunuhan dan penganiayaan dua tenaga kerja Indonesia (TKI) oleh majikan mereka di Arab Saudi, pekan lalu, menunjukkan malasnya para pejabat di negeri ini mencari solusi menghentikan mata rantai kekerasan terhadap TKI yang terjadi berulang-ulang.

Padahal, perlakuan para majikan itu terhadap TKI kita amat sadis, jauh dari perilaku manusia yang beradab. Kikim Komalasari, TKI asal Cianjur, Jawa Barat, disiksa lalu dibunuh majikannya. Setelah itu, jenazahnya dibuang di tempat sampah tiga hari sebelum Idul Adha di Kota Abha, sekitar 600 kilometer dari Jeddah, Arab Saudi.


Sumiati, TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, dianiaya dengan cara dipukuli, ditendang, dan bahkan mulutnya digunting.


Padahal, asal muasal penganiayaan TKI kita, baik yang di Arab Saudi maupun di Malaysia, hampir serupa. Mereka rata-rata ditindas karena dianggap tidak cakap bekerja dan tidak mampu memahami bahasa.


Menurut data pemerintah, jumlah resmi TKI kita di luar negeri sekitar 3,27 juta orang. Menurut lembaga independen pemerhati TKI, Migrant Care, jumlah TKI kita diperkirakan mencapai 4,5 juta orang.


Sebagian besar di antara mereka (sekitar 70%) adalah perempuan dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Jenis pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga mendominasi karena tingkat pendidikan TKI kita yang dikirim ke luar negeri sebagian besar sekolah dasar. Sudah begitu, pembekalan terhadap mereka sebelum berangkat amat minim, malah ala kadarnya.


Itu berarti sebenarnya pemerintah sudah mengetahui akar masalah, tapi tidak cukup punya kreativitas untuk memecahkannya. Akibatnya, kejadian serupa dengan sebab yang sama selalu berulang bak lagu lama yang terus diputar.


Kita layak malu dengan Filipina, yang juga memiliki jumlah tenaga kerja di luar negeri sangat besar, sekitar 2 juta orang. Tapi, kualitas dan nasib mereka jauh lebih baik ketimbang TKI.


Itu disebabkan pemerintah Filipina sangat serius mempersiapkan dan melayani tenaga kerja mereka. Pembekalan kecakapan teknis, kemampuan berbahasa negara tujuan, dan pendampingan tenaga kerja dilakukan secara sistematis dan tidak asal-asalan.


Mental melayani dan mengadvokasi betul-betul dipraktikkan pemerintah Filipina, bahkan hingga ke pucuk pimpinan negara. Itulah yang pernah dilakukan mantan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo yang langsung menemui Mahathir Mohammad yang saat itu perdana menteri Malaysia, ketika muncul insiden penyiksaan tenaga kerja Filipina oleh majikannya di Malaysia.


Tapi, di sini, menteri tenaga kerja sudah berganti berkali-kali, proses rekrutmen dan pengiriman TKI tetap saja amburadul. Kualitas tenaga kerja yang dikirim juga belum beranjak dari posisi pembantu rumah tangga, dengan kemampuan teknis pas-pasan dan pemahaman bahasa yang juga memprihatinkan.


Pemerintah amat senang menyebut para TKI sebagai pahlawan devisa karena memang uang yang mereka kirim ke Tanah Air mencapai sekitar Rp60 triliun per tahun. Tapi, jasa mereka dibalas dengan memperlakukan para TKI itu sebagai sapi perah.


Gaduh soal pembelaan terhadap TKI baru muncul ketika ada insiden, itu pun dengan tingkat keberhasilan yang minim. Setelah itu, semuanya berjalan seperti biasa.


Karena itu, sebelum pemerintah sanggup membenahi pengiriman TKI dan memberikan jaminan rasa aman, moratorium layak dipertimbangkan. Dengan demikian, para TKI tidak terus menjadi yatim piatu karena tidak ada yang mengurus. 

*media indonesia.com 

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)