JAMBI - Ratusan Pelajar Mogok Sekolah


Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) kembali melakukan aksi mogok belajar. Setelah bebarapa waktu lalu, dilakukan siswa SMAN 6, Selasa (15/11) lalu dilakukan ratusan siswa SMKN 3. Para siswa itu menuntut agar uang komite sebesar Rp 450 ribu dihapuskan. 

Pasalnya, persetujuan uang komite yang direncanakan untuk PSG tersebut tidak melibatkan orang tua siswa.  Selain itu, tingginya uang komite yang harus dibayarkan oleh siswa tidak akan dinikmati oleh siswa yang bersangkutan. Mereka juga menuding transparansi uang yang dibayarkan tidak pernah diberitahukan.

Riski Malik, mantan Ketua Osis SMKN 3 menerangkan, siswa yang kelas 3 tidak akan menikmati uang yang akan dibayarkan tersebut. Program yang direncanakan oleh Kepala Sekolah sama sekali tidak dirasakan oleh para siswa. Dan ia menganggap nilai Rp 450 ribu yang harus mereka bayar terlalu terlalu tinggi. Selain itu, ia mengatakan siswa yang tidak mampu tetap harus bayar, padahal orang tua mereka tidak ikut pada penyetujuan uang komite.
  
“Orangtua yang menyetujui pembayaran uang komite tidak mencukupi kuota,” tukasnya.

Saat berembuk dengan pihak Dinas Pendidikan, Kepsek SMKN 3 dan para guru, Riski menegaskan ada guru yang telah menerima uang namun tidak menjalankan tugasnya. Guru yang bersangkutan lebih banyak meninggalkan jam pelajarannya.

Selain itu, ada juga paksaan dari guru untuk membeli LKS di sekolah. Dan apabila tidak membeli mendapat ancaman dari sekolah.

Sementara itu, pihak sekolah melalui kepala sekolah SMKN 3, Edi Susilo, mengatakan uang komite yang direncanakan untuk program PSG sama sekali belum dipungut. Orang tua siswa yang diundang pada saat pertemuan untuk penentuan jumlah nominal uang komite yang dibayarkan, tidak pernah datang. Hal ini lah yang menjadikan muncul kesalah pahaman pembayaran uang komite.

“Uang komite belum dipungut, kalau ada perubahan dari orang tua siswa itu sah-sah saja, karena merekalah yang menentukannya,” jelasnya.
       
      Diakuinya, program yang menyebabkan adanya iuran biaya komite memang berasal dari kepala sekolah. Namun untuk penentuan nominal berapa yang dibayarkan tidak ada perbedaan nominal yang akan dibayarkan oleh orang tua siswa, semuanya pukul rata sebesar Rp 450 ribu. Hal tersebut dikarenakan uang yang rencananaya dibayarkan tersbut untuk kebutuhan praktik.

“Dengan adanya praktik, siswa dapat memiliki keterampilan, dan menunjang nilai saat ujian akhir,” sebutnya.

Dan ia mengatakan tidak berani menyarankan kepada komite untuk menentukan besar nominal yang dibayarkan oleh orang tua siswa. Ditambahkannya, setelah para siswa melakukan aksi mogok belajar pada hari ini tidak ada tekanan dari sekolah. Mereka akan tetap belajar seperti biasanya apabila mereka masuk sekolah. Namun berbeda kalau tidak masuk sekolah.

Salah seorang guru SMK N 3, Edwar, yang terpancing emosinya dengan ungkapan siswa mengatakan bahwa semua nilai ujian nasional siswa SMK pada dasarnyan ‘tanda tanya’ semua. Hal ini dikarenakan dalam dua tahun siswa tidak belajar, karena guru yang pasang badanlah. Sehingga para siswa bisa lulus.

“Mengapa hanya urusan komite, selalu dipersalahkan, guru-gurulah yang membantu siswa supaya bisa lulus ujian,”  ujarnya dengan nada tinggi.

Ditegaskannya, apabila bukan guru yang pasang badan, maka 50 persen siswa tidak lulus UN. Untuk diketahui apabila di SMK N 3 para guru yang memasang badan sehingga bisa membantu siswa lolos, berarti tidak ada kemurnian dalam pelasanaan UN. Dan diindikasikan ada permainan antar guru dengan siswa, apalagi dengan tidak belajarnya siswa selama 2 tahun. Lantas kenapa para siswa bisa diluluskan.

Kepala Dinas Pendidikan, A Syihabuddin, menanggapi hal tersebut mengatakan, perlu ada evaluasi ulang jumlah nominal yang telah diputuskan oleh komite. Apabila ada orang tua siswa yang benar-benar tidak mempu membayar uang sumbangan, maka harus diringankan atau tidak dikenakan sumbangan, namun dengan dilengkapi keterangan yang jelas.

Sementara terkait dengan adanya pemaksaan terhadap siswa untuk membeli LKS, Syihabudin menegaskan agar penjualan LKS di sekolah ditiadakan, apalagi sampai ada unsur pengancaman. “Siswa di beri kebebasan untuk membeli LKS, tapi tetap harus punya,” ujarnya. 

*jambiekspres.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)