MUARABULIAN,JAMBI - Banyak Perambah Mengaku SAD


Suku Anak Dalam (SAD) yang lemah pengetahuan dan teknologi kerap dijadikan kambing hitam dalam kasus perambahan hutan di kawasan restorasi. Banyak perambah di kawasan ini yang mengaku sebagai anggota SAD.Padahal mereka bukan Suku Anak Dalam, tapi pendatang yang mengaku-ngaku SAD,” kata Usman Gumanti, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Jambi kepada Tribun, akhir pekan lalu.

Ia mengatakan hal itu sangat berdampak pada pada citra Suku Anak Dalam.  Bagi masyarakat yang tidak paham dengan kondisi sebenarnya, akan menganggap Suku Anak Dalam sebagai pelaku kerusakan hutan. Padahal itu pemikiran yang sangat keliru. Mereka hanya dikambinghitamkan saja,” ucapnya.

Ia menyebut SAD sampai saat ini masih konsisten untuk melakukan pelestarian alam, termasuk hutan. SAD dengan kelestarian alam juga bagian yang sulit dipisahkan karena sejak dulu SAD mengandalkan hasil alam dan hutan sebagai kebutuhan hidup.  Sejak tahun 1922 mereka sudah hidup di sana, dan kawasan restorasi dan hutan sekitarnya itu adalah ruang jelajah mereka,” jelasnya.

Kepala Biro Humas AMAN, Laung, mengungkapkan beberapa fakta menarik. Dua kelompok tani, yang kebunnya berada di dalam kawasan restorasi, mempunyai ratusan kepala keluarga, namun jumlah SAD dalam kelompok tani itu hanya belasan. Anggota kelompok tani ini, kata Laung, mengaku-ngaku sebagai anggota SAD, supaya tidak dianggap sebagai perambah.  Walaupun dari namanya cukup jelas bahwa mereka bukan SAD, seperti ada yang punya marga,” terangnya.

Depati Adi Wijaya, yang merupakan keturunan alm Depati Maliki, mantan anggota MPR RI dari utusan golongan, yang mereka temui awal bulan ini mengaku sedih melihat nasib SAD saat ini.  Depati Adi Wijaya sangat mengharapkan agar masalah kasus perambahan ini bisa cepat diselesaikan, supaya SAD tak lagi dijadikan kambing hitam, supaya tidak menjadikan SAD sebagai tameng perambahan,” ucapnya.

Menurutnya, hasil penelitian langsung ke lapangan menunjukkan, dua kelompok tani itu menguasai sekitar 6.500 hektare lahan, yang semuanya masuk dalam kawasan hutan restorasi. Ia meyakini di antara lahan seluas itu hanya sebagian kecil saja yang digarap oleh SAD.

 Kita bisa lihat dari kehidupan SAD. Mereka selama ini banyak yang bekerja sebagai pengutip brondolan (buah tandan sawit yang jatuh). Sangat sulit rasanya bila hanya mengandalkan uang dari hasil penjualan brondolan itu mampu membuka lahan ratusan hektar,” ucap pria berbadan tinggi itu.

Ia menyebut, pihaknya telah berusaha melakukan mediasi antara perusahaan dengan masyarakat yang kini menguasai lahan itu.  Sudah sembilan bulan kami melakukan penelitian dan menginventarisir masalah yang ada di sana,” katanya.

Menurutnya, masalah perambahan itu harus bisa cepat diselesaikan oleh pemerintah daerah, karena campur tangan Pemda sangat sentral dalam penyelesaian kasus yang disebutnya sudah kompleks itu.  Kalau tidak segera diselesaikan, ini akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Bisa terjadi konflik antara masyarakat pendatang dengan SAD,” sebutnya. (ang)

*tribunjambi.com

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)