JAMBI - Bisnis Esek-esek Makin Menjamur di Jambi


Pijat Tradisional, Sebulan Raup Rp 30 Juta.
Bisnis prostitusi makin marak di Jambi. Modusnya bermacam-macam. Mulai dari pijat tradisional, salon plus karaoke, dan perawatan tubuh. Untung yang diraih pun sangat menggiurkan. Bisnis panti pijat tradisional misalnya. Sebulan, pengusaha bisa meraup untung berkisar Rp 30 juta.

Salah satu panti pijat tradisonal di kawasan Simpang Gado-gado, Payoselincah, Jambi Timur, siang kemarin (5/11) terlihat sepi. Hanya satu dua kendaraan roda dua parkir di tempat itu.

Dari seorang pemijat, Mawar (25) –bukan nama sebenarnya--, diketahui bahwa bisnis panti pijat cukup menggiurkan. Dia mengaku, dalam satu bulan bisa memperoleh pendapatan berkisar Rp 18 juta. “Kadang dalam sehari bisa sampai 10 tamu. Tapi kalau lagi sepi, ya, bisa tiga atau empat tamu,” ungka gadis manis itu.

Tiap tamu, dikenai biaya kamar dan tips untuk pemijat. Biaya kamar Rp 50 ribu per jam, belum termasuk minuman. Jika ditambah minuman, rata-rata Rp 60 ribu yang harus dikeluarkan seorang tamu satu memijat di tempat itu.

Jika sudah memijat, tamu seringkali memberi tips kepada pemijat. Besarnya bervariasi. Biasanya, minimal Rp 50 ribu. Ada juga pemijat yang bisa mendapat Rp 200 ribu dari seorang tamu. Cuma, termasuk “jasa plus” yang telah diberikan kepada sang tamu.

Di panti pijat itu, ternyata bisa juga dipakai sebagai tempat esek-esek. Jika cocok harga, maka tamu bisa diberi servis lebih. “Biasanya cepek (Rp 100 ribu, red) sekali main. Tapi kalau mau lebih, boleh,” ujarnya.

DK (30), seorang pengelola panti pijat tradisional kawasan Simpang Gado-gado Payoselincah, mengaku usaha itu sudah lama digelutinya. Keuntungannya lumayan. Namun, dia menolak membeber berapa sebenarnya keuntungan yang dia raup tiap bulan.

Di panti pijat lain, di kawasan Kebun Handil Kotabaru, juga berlangsung praktek esek-esek di balik usaha pijat tradisional itu. Tarifnya sama, Rp 100 ribu sekali “main” dan Rp 60 ribu satu jam pemakaian kamar.

Fasilitasnya cukup lengkap. Tiap kamar disediakan dipan ukuran 3, pintu dari tirai tebal, plus air conditioner (AC). Rp 60 ribu sudah cukup untuk beristirahat satu jam di tempat itu.

Melati (26) –juga bukan nama sebenarnya—mengaku, baru dua bulan kerja sebagai pemijat di panti pijat itu. Dalam satu hari, rata-rata dia bisa menerima tamu sebanyak tiga sampai empat orang. Jika sepi, paling seorang.

Hampir semua tamu, katanya, menginginkan layanan plus-plus. Soal layanan itu, dia tak mematok harga. Biasanya, kata dia, Rp 100 ribu per sekali main.

Dalam sehari, menurut Melati, tamu yang datang ke panti pijat tempat dia bekerja rata-rata 20-25 orang. Diasumsikan, jika seorang tamu membayar Rp 60 ribu, dikalikan 20 tamu, itu berarti pengelola bisa meraup untung sebesar Rp 1,2 juta. Dikalikan lagi satu bulan, keuntungannya mencapai Rp 30 juta.

“Itu kotor. Kita kan harus bayar ini-itu, termasuk bayar biaya keamanan,” kata seorang penjaga panti pijat.   

Jambi Independent meneruskan penelusuran ke sebuah usaha panti pijat yang berlokasi di seputaran Pasar Kota Jambi. Panti pijat tersebut tidak terkesan seperti panti pijat yang menawarkan layanan plus. Ketika memasuki tempat itu, dua orang resepsionis cantik menyapa dengan ramah.

Selanjutnya mereka akan menyodorkan beberapa album berisi foto wanita terapis atau tukang pijat. Ada puluhan foto wanita di dalam album tersebut.

Ruangan panti pijat di sana terkesan dibuat agak remang-remang dengan lampu berwarna kuning dan wangi aroma terapi. Ketika berada di ruang pijat, pengunjung diberikan semacam celana menyerupai celana boxer. Celana ini disebut dengan celana tisu, karena sangat tipis dan terlihat transparan.

Untuk mendapatkan layanan plus, si pemijat memang tidak menawarkanya secara langsung, namun tergantung inisiatif pelanggan. Jika pelanggan meminta, maka akan mendapat respons dari si pemijat dengan mengatakan tergantung bayaran serta kesepakatan.

Seorang pemijat, sebut Anggrek (20) –juga bukan nama sebenarnya--, mengaku berasal dari Jawa dan baru satu tahun berada di Jambi. Dari dia diketahui, tarif pijat biasa yang dikenakan di tempatnya berkisar Rp 40 ribu. Rp 100 ribu untuk yang ber-AC. Jika ditambah dengan pijat plus, harus merogoh kocek Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu.

“Jika ingin layanan plus, tentu tarifnya akan lebih besar. Ini sangat tergantung pada negosiasi,” imbuhnya.

Rata-rata, per harinya Ayu dapat mengumpulkan uang hingga jutaan rupiah dari pijat plus. Meskipun dia mengaku tak seberapa digaji oleh panti.

“Kami digaji sekali tiga bulan. Itu pun nggak sampai Rp 1 juta. Gaji itu diambil dari berapa banyak kita melayani pelanggan. Setiap melayani pelanggan, kami hanya dibayar Rp 15 ribu. Nah, penghasilan terbesar kami ya, hanya dari tips yang diberi pelanggan,” bebernya.

Walaupun demikian, tidak semua wanita yang berada di panti pijat menyediakan jasa seks dan pijat plus. Banyak juga yang memang pemijat sungguhan.

“Di sini, ada juga yang memang beanr-beanr mijat. Gak pake plus,” ujarnya.

Pada umumnya pemijat itu adalah wanita profesional dan biasanya mereka telah memiliki langganan tetap. Tarif untuk sekali pijat biasanya bervarisasi. Mulai dari Rp 70.000 sampai Rp 200 ribu. Para wanita pemijat biasanya membuat harga sesuai dengan lokasi tempat pijat.

“Jika dilakukan di rumah, biasanya tarif pijat standar tetapi. Jika dilakukan di hotel, tarif sekali pijat per jam bisa menjadi dua kali lipat,” kata Ayu seraya mengatakan dirinya pernah melayani tujuh pelanggan pria hidung belang dalam sehari.

Jumlah PSK Meningkat 10 Persen Per Tahun

Jumlah wanita pekerja seks komersial (PSK) di Kota Jambi meningkat tajam dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Peningkatan itu memicu tingginya jumlah penderita HIV/AIDS di wilayah Jambi.

Menurut data yang dilansir Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Jambi, tahun 2009 jumlah PSK di Kota Jambi mencapai 391 orang. Sedangkan tahun 2010, bertambah menjadi 496 orang. Para PSK tersebut tersebar di wilayah Kota Jambi.

Mereka beroperasi di sejumlah warung remang-remang, hotel melati, panti pijat, diskotik, pub, karaoke, dan mal. “Rata-rata pertumbuhan PSK di Kota Jambi lima hingga 10 persen per tahun. Para PSK ini kebanyakan berasal dari wilayah Pantura, Indramayu, dan Tasikmalaya. Sedangkan dari wilayah Bekasi hanya sekitar 20 persen,” kata Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Jambi Kaspul, saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin (5/11).

Efek dari meningkatnya jumlah PSK, jumlah pengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) atau biasa disebut ODHA di Kota Jambi dalam setahun terakhir juga meningkat. Menurut data resmi di Disosnaker Kota, tercatat mencapai 172 orang (158 HIV dan 14 AIDS). Penderita menurut golongan umur yang paling banyak terdapat pada usia 20-29 tahun yang jumlahnya mencapai 136 orang.

Menurut jenis pekerjaan, PSK menempati urutan kedua penderita HIV dengan jumlah 44 orang. Sedangkan, urutan pertama ditempati pelajar dan mahasiswa yang mencapai 74 orang.

Kaspul menyebutkan, kelompok berisiko mengidap HIV/AIDS, seperti PSK, pelaku heteroseksual, dan pengguna narkoba jarum suntik masih takut untuk melakukan test HIV.

“70 persen penyakit HIV/AIDS karena narkoba jarum suntik,” ungkap dia. Sementara, jumlah panti pijat yang berdiri di Kota Jambi telah mencapai 25 buah. Dari jumlah itu, enam di antaranya tidak mengantongi izin alias ilegal.

“Jumlah panti pijat yang terdaftar sebanyak 19 buah. Selebihnya, ilegal,” kata Moamar Nopriyansah, Kabag Ekonomi Pemkot Jambi saat dikonfirmasi kemarin.
 
Menurutnya, selain panti pijat, tempat hiburan serupa karaoke dan salon mencapai 30 buah. “Itu yang terdaftar saja. Yang sumputan (sembunyi, red) dan tak melapor ke kita sangat banyak,” ujarnya.

*jambi-independent.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

free comment,but not spam :)